Selasa, 15 Juni 2010

Happy Problem Hikari

Teman dari teman saya yang bergelut di bidang usaha distro dan produksi pakaian mengenalkan sebutan Happy Problem lewat tulisannya. Istilah ini biasanya dipakai oleh para pelaku usaha manakala mereka memperoleh orderan yang melebihi kemampuan maksimal produksi mereka. Jadi sebenarnya mereka bahagia dengan jumlah orderanyang membludak, karena tentu saja akan berdampak positif pada kemajuan usaha. Tapi di sisi lain mereka juga harus merasakan tekanan akibat ketatnya tenggat waktu dalam memenuhi orderan tersebut.

Tanpa kita sadari, dalam kehidupan sehari-hari pun tak jarang kita berhadapan dengan situasi yang mirip dengan The Happy Problem ini.

Memasuki usia 8 bulan, Hikari menjadi sangat-sangat selektif dalam memilih orang. Padahal sebelumnya dia mau saja didekati dan digendong sembarang orang. Di kalangan tetangga dia dikenal sebagai bayi yang ramah karena murah senyum pada siapa saja yang menyapa. Sampai-sampai terbersit khawatir dan sedikit paranoid “ntar jangan-jangan ada orang jahat yang bawa lari dan dia malah ketawa-ketawa”.

Tapi semuanya berbeda sekarang. Tak sembarang orang bisa menggendong Hikari. Penyebabnya tidak bisa saya temukan, hanya saja saya bisa mengingat kalau perubahan itu terjadi tak lama setelah Hikari pertama kali jatuh dari kasurnya pada suatu malam saat dia tidur sendiri sementara saya dan umminya sedang di ruang depan menonton tivi.

Daftar orang yang bisa menggendong Hikari tanpa membuatnya menangis semakin menyusut dari hari ke hari. Sekarang ini dia hanya mau digendong oleh saya, umminya, pengasuhnya, neneknya (mertua saya), Andi (oomnya, adek saya) dan Ines (tantenya, adek istri). Selebihnya, dia akan menolak bahkan menangis jika ada orang yang berusaha menggendongnya. Ayah dan Bunda si Awan tetangga depan yang setiap hari ketemu pun tak berhasil membujuknya. Kalau digendong kakeknya (mertua saya), langsung menangis sejadi-jadinya. Waktu Mbahnya (ibu saya) datang dari lampung pun dia tak mau digendong padahal ibu saya di pekanbaru sampai 2 minggu lamanya.

Dari daftar yang isinya hanya sedikit itu pun akan mengerucut menjadi 1 orang saat maghrib tiba, dan sayalah yang ada di puncak piramid itu. Menjadi the chosen one tempat Hikari bermanja-manja dan tak seorang pun bisa menggantikannya, tidak umminya tidak pula pengasuhnya. Hanya saya. Semua yang dilakukannya harus bersama saya, harus ada saya. Saya tinggal sebentar untuk sholat pun dia menangis, padahal ada umminya yang menemaninya bermain. Begitulah sampai saya berhasil menidurkannya yang biasanya antara pukul delapan sampai sembilan malam.

Kondisi ini kadang-kadang menjadi Happy Problem. Saya sangat-sangat-sangat senang bersama Hikari. Tak perlulah dilukiskan lagi perasaan bahagianya seperti apa. Hanya saja, kadang-kadang saya juga harus melakukan hal lain yang tidak bisa mengajak dia. Seperti saat sholat yang saya sebutkan di atas. Atau ketika batas waktu peminjaman vcd sudah habis dan saya harus mengembalikannya malam itu juga (yang seringnya saya tunda sampai besok dan kena denda). Atau ketika kami lupa membeli stok susunya sementara yang tersisa tidak akan cukup sampai esok paginya dan saya harus segera membeli yang baru sebelum toko-toko tutup.

Mungkin nanti jika dia sudah bisa berlari, saya akan ajak saja kemanapun saya pergi.

Senin, 14 Juni 2010

Slowly slowly my little baby

Anak gadis belum juga berani jalan sendiri. Baru selangkah-dua langkah aja. Itu pun kalau ada orang di depannya yang siap sedia menangkapnya. Selebihnya sih dia selalu menggapai mencari tangan siapa pun untuk memegangi jika ingin berjalan. Tapi semua tembok sudah dirambati sih. Dia bisa merambat berpegangan tembok dari depan sampai pintu yang menuju ke dapur, lalu kambali lagi ke depan. Rajin sekali.

Kalau dirunut lagi ke belakang, Hikari sudah mulai minta ditatah sejak umur 8 bulan. Teman sebayanya belum ada yang turun ke jalan, Hikari sudah puas menjelajahinya sampai jauh ke mushola di ujung kompleks setiap pagi. Tapi sampai ulang tahunnya yang pertama, dia masih juga belum berani melangkah sendiri.

Saat belajar merangkak pun begitu. Prosesnya begitu lama. Dimulai dengan merayap memakai perutnya, lalu mulai belajar mengangkat badannya dengan tangan sampai akhirnya bisa merangkak dengan lancar. Padahal banyak yang bilang kalau sudah merayap, biasanya tidak merangkak dan langsung belajar jalan. Sepertinya Hikari adalah tipe anak yang ingin melakukan segalanya dengan perlahan-lahan.

Sekarang, di sela-sela kegiatannya merambati tembok dan mengeksplorasi rumah, dia mulai belajar bicara. Sepanjang hari, kecuali tidur, suaranya ramai sekali berceloteh sambil bermain. Kadang juga diselingi jeritan kecil. Masih berupa gumaman dan ocehan tak beraturan sih. Seperti orang merapal mantera. Tapi dia sudah bisa mengekspresikan keinginannya dengan suara dan mimik wajah yang lucu.

Ini dia kata-kata yang sudah bisa diidentifikasi artinya;
Ba = Cilukba (diucapkan sambil tersenyum dan memiringkan kepalanya)
Ba, Aba = Abi (memanggil saya)
Mmma = Ummi (memanggil umminya)
Mam-mam = Makan (jika melihat orang lain sedang makan, saat melihat orang masuk ke dalam rumah menenteng tas plastik)
Dah = Udah (sambil melepaskan botol susunya jika dia sudah kenyang menyusu)
Dada = Dada (sambil melambaikan tangan jika ada orang yang keluar dari rumah)
Awa = Awan (selalu diteriakkan dengan suara melengking, memanggil si Awan anak tetangga depan rumah)
Taa = Intan (juga diucapkan dengan suara melengking memanggil Intan teman sebayanya yang usaianya selisih 2 hari)
Bwah = Buah (diucapkan dengan bunyi B yang tebal setiap kali ada tukang buah lewat di depan rumah)

Selalu penuh kejutan melihat perkembangannya dari hari ke hari. Walaupun mungkin relatif lambat, tapi dia belajar dengan rajin dan mencapai kemajuan yang berarti. Saya mengamatinya saat dia tertidur dan tak henti bersyukur atas titipan-Nya  yang mempesona ini.


Kamis, 10 Juni 2010

Nikmat Lidah

Pernah dengar bahwa semakin tua usia kita, semakin banyak nikmat Tuhan yang diambil dari kita? Yang paling terasa tentu saja ingatan. Tapi mungkin saja ada nikmat lain yang telah diambil perlahan-lahan dan kita tidak menyadarinya.


Suatu kali dalam rangka tugas, saya mengunjungi rumah seseorang bersama ketua tim dan supervisor saya. Singkat cerita, di depan rumah orang tersebut ada pohon salam. Teman tau pohon salam kan? Itu lho, yang daunnya sering dipake untuk masak atau bikin nasi uduk atau bubur sumsum. Nah, pada saat itu pohon salam itu sedang berbuah. Buahnya kecil-kecil, hanya sedikit lebih besar dari butiran lada. Berwarna merah darah jika sudah masak.


Kenangan masa kecil saya tentang buah salam langsung muncul. Dulu saya sering berebut memanjat pohon salam di hutan bersama teman-teman dan memakannya dengan kenikmatan yang luar biasa. Dan itu adalah perjumpaan saya yang pertama kali dengan buah salam setelah sekian lama. Maka saya pun meminta kepada yang punya rumah. Ketua tim dan supervisor saya terheran-heran, tapi saya cuek saja dan langsung memakannya. Sama sekali tidak enak. Lebih banyak rasa kelat, sepat dan pahit daripada manisnya. Ini aneh. Karena bukan seperti ini rasa yang diingat oleh lidah saya.

Suatu hari yang lain, tetangga kami mengantarkan beberapa bungkusan kecil dari daun pisang. Ternyata isinya nasi bancakan. Surprise sekali. Ini juga makanan dari masa kecil saya. Biasanya nasi bancakan ini didapat dari acara sukuran yang dihadiri oleh anak-anak. Kalau kenduri adalah acara mendoa yang diadakan oleh orang dewasa, maka bancakan ini adalah versi anak kecilnya. Bancakan diadakan untuk bermacam-macam acara; naik kelas, baru sembuh dari sakit, khatam quran, peringatan weton (semacam ulang tahun tapi perhitungannya dengan kalender jawa), bayi baru bisa jalan, dll.

Anak-anak berkumpul dengan semangat. Penuh gairah dan kegembiraan. Setelah sepatah dua patah kata sambutan dari orang tua yang di-bancaki (yang akan kami sahuti dengan “nggih-nggih”), lalu ada doa singkat (yang biasanya tidak terlalu kami  pedulikan dan sekedar amin-amin saja), dan setelahnya pembagian bancakan yang ditunggu-tunggu.


Isinya adalah nasi yang dicampur dengan beberapa lauk pauk sederhana. Biasanya mihun goreng (sedikit), kerupuk merah (sedikit), urap/gudangan (sedikit) dan tak lupa telur rebus yang dibagi 4 (Atau mungkin 8? Saya tak ingat dengan pasti, hanya saja telur itu sedemikian kecil potongannya bahkan untuk ukuran anak-anak. Kadang-kadang kalo sedang apes, hanya dapat putihnya saja, kunging telurnya tak ada.). Lalu semuanya dibungkus sedemikian rupa dengan daun pisang.

Memang semuanya serba sedikit. Tapi rasanya nikmat sekali. Saat menyuapkannya rasanya tak rela banyak-banyak. Inginnya sedikit demi sedikit agar tak cepat habis. Daun pisang pembungkusnya sampai licin tak berbekas sama sekali.

Nasi bancakan hantaran dari tetangga saya pun ukurannya kecil saja. Isinya pun nyaris sama. Yang berbeda hanyalah ukuran telur yang jauh lebih besar (separuh) dan ada tambahan oseng-oseng tempe. Saya menaruh harapan besar saat melihatnya. Sepertinya enak. Dan memang enak. Tapi enak yang biasa saja. Tak ada sensasi kebahagiaan seperti yang saya ingat saat menikmati nasi bancakan di masa kecil dulu.

Saya tersadar bahwa mungkin lidah saya sudah mulai kehilangan kemampuan untuk menikmati makanan. Ini kah salah satu nikmat dari Tuhan yang telah diambil perlahan-lahan dari saya? Atau ini hanya karena saya kurang mensyukuri apa yang ada?

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Jumat, 04 Juni 2010

Selamat Ulang Tahun, Hikari-chan

Subuh yang dingin setahun yang lalu. Istri membangunkan saya dengan panik. Ada cairan yang merembes seperti pipis tapi tak mau berhenti. Ini kehamilan pertama, usianya baru 8 bulan 3 hari menurut hitungan dokter Imelda. “Nggak pa-pa, ntar kita tanya mama,” kata saya sok tau, berusaha menenangkan. Lalu kami pun sholat. Ternyata alirannya tidak juga berhenti, malah semakin banyak. Seusai sholat langsung telepon mama. Telepon rumah tak diangkat. Dihubungi ke Hp pun tak ada yang menjawab. Mungkin seisi rumah belum pulang dari masjid.

Rembesan itu semakin banyak dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Di awal kehamilan memang pernah ditemui flek karena kecapekan setelah menghadiri pesta pernikahan teman yang lokasi pestanya jauh sekali. Sudah waktunya si jabang bayi lahir? Bulannya belum cukup, pikir kami.

Istri lalu menelepon bunda si Dimas, temannya sejak masa kuliah. Dan jawabannya mengejutkan. Air ketuban. Haa? Bunda si Dimas buru-buru menambahkan untuk tidak panik. Langsung ke rumah sakit aja, jangan ngebut, pesannya di akhir telepon.

Saya segera mengeluarkan sepeda motor, kami bersiap seadanya. Sesaat sebelum berangkat, Mama menelepon. Ternyata memang air ketuban. Mertua saya adalah bidan, jadi tak diragukan lagi diagnosanya.

-Banyak airnya?
+Banyak.
-Ya udah, langsung ke rumah mama aja, kita ke rumah sakit. Bawa kain yang banyak.
+Adanya cuman sarung.
-Sarung jadilah. Jangan lupa kartu askesnya.

Dalam dinginnya udara subuh kami berboncengan ke rumah mama. Sepanjang perjalanan itu air ketuban terus merembes. Dan sesampainya di rumah mama, istri sudah basah kuyup di bagian bawah tubuhnya. Ternyata mama sudah siap di belakang kemudi. Sudah mengenakan seragam lengkap. Mama adalah bidan yang juga merupakan PNS di dinas kesehatan yang bertugas di RSUD Arifin Ahmad.

Hampir pukul 6 pagi saat kami sampai di RSUD. Setelah melalui proses pendaftaran (sambil tak lupa menyertakan kartu askes)  yang memakan waktu beberapa menit, istri masuk IGD. Ternyata sudah mulai pembukaan 1. Sebentar di IGD, langsung dibawa ke ruang observasi untuk diambil tindakan.  Air ketuban  masih mengalir walaupun tak sederas sebelumnya, mungkin karena sudah terlalu banyak keluar atau mungkin karena istri dalam posisi tidur dan tak boleh banyak bergerak. Mama memprediksi sang bayi akan lahir tak lama lagi, meskipun usia kehamilannya belum genap 9 bulan.

Saya menelepon ke Lampung, mengabari orang tua saya kalau cucu mereka diperkirakan akan lahir hari ini. Ibu dan bapak saya terkejut.

Mama meninggalkan kami berdua untuk absen dan bertugas di ruangannya. Kami pun jadi seperti orang linglung berdua di ruangan yang sepi itu. Tanpa pengalaman dan tanpa penjelasan. Perawat hanya berjaga di ‘pos’ mereka di ujung lorong, dekat pintu masuk. Mereka hanya datang sekali-sekali mengecek keadaan istri dan lalu pergi lagi. Istri mulai merasakan sakit sesekali. Dan jadi sering merasa ingin pipis. Ini menyusahkan. Karena istri tidak boleh banyak bergerak dan sebisa mungkin tetap dalam posisi tidur. Akhirnya diajari untuk pipis dengan posisi tidur menggunakan semacam tempat yang terbuat dari logam mengkilat (mungkin stainless steel) yang bentuknya sedemikian rupa. Repot.

Pukul sepuluh sudah pembukaan 5. Mama datang membawakan lontong sayur untuk kami. Istri makan dengan lahap sementara saya tidak berselera sama sekali. Dokter Imelda datang dan melakukan diagnosa. Dia mengatakan akan berusaha ‘menahan’ si bayi agar tidak lahir di hari itu. Kalau memungkinkan ditunggu satu minggu lagi. Lalu istri diberi obat melalui suntikan.

Saya menelepon mas Ris, mengabari kalau saya tidak masuk hari ini karena menemani istri yang akan melahirkan di rumah sakit. Ketua tim saya itu terkejut.

Ternyata suntikan ‘penahan’ dari dokter Imelda tidak bereaksi. Lewat dari waktu dhuhur, istri mulai kontraksi. "Sakit," katanya. Semakin lama intensitasnya semakin sering. Saya tak berdaya memandangi wajah istri yang berkerut dan meringis menahan sakit. Hanya bisa mengelus2 saja berusaha menenangkan walaupun saya tau itu tidak berpengaruh sama sekali.

Pukul 4 sore, mama memberitahu perawat yang berjaga untuk menelpon dokter Imelda karena kontraksinya semakin rapat dengan rasa sakit yang mungkin tidak akan mampu saya tahan.

Hampir satu jam kemudian dokter Imelda datang dengan terengah-engah. Lift macet, katanya. Dia berlari-lari menaiki tangga ke ruangan kami di lantai 3 itu. Persiapan dilakukan. Dokter Imelda mengenakan sepatu bot karet, sarung tangan dan semacam celemek dari bahan karet juga. Saya teringat tukang daging di pasar pagi arengka.

Rupanya sang bayi memang menunggu dokternya. Tak perlu waktu lama, hanya dengan dua kali dorongan, anak gadis kami meloncat keluar tepat dalam tangkapan dokter. Tangisnya keras. Matanya tertutup. Tangan mungilnya mengepal. Sepertinya dia kedinginan. Saya ingin langsung memeluknya, tapi dokter Imelda menyerahkannya kepada perawat untuk dibersihkan terlebih dahulu.

Saya mencium istri yang terkulai lemah dengan wajah lelah. Cantik.

Mungkin tangan saya bergetar saat menerima sang bayi yang terbungkus selimut dari tangan perawat yang tersenyum memberi selamat. Ah. Ini perasaan yang tidak bisa dituliskan.  Azan dan iqomah dikumandangkan perlahan, berusaha agar terdengar indah di telinga kecilnya.

Selamat Ulang Tahun, Hikari sayang.



This innocence is brilliant, This moment is perfect