Kamis, 29 Juli 2010

Kejutan Hoshi

Alah bisa karena biasa, kata pepatah. Kita tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan sesuatu jika sebelumnya kita sudah pernah mengerjakannya. Atau kalau pun ada sedikit canggung, itu tidak akan berlangsung lama. Karena seperti halnya mengendarai kendaraan, kita tidak akan kesulitan meski sudah lama tidak melakukannya. Dan seharusnya semakin sering kita melakukan suatu hal, semakin ahli kita dalam hal tersebut bukan?

Saya mengalami sedikit kejutan dengan Hoshi. Sampai dengan saat ini saya masih juga belum merasa pas saat 'menangani' dia. Usianya sudah 2 minggu lebih -tepatnya 16 hari- dan saya masih canggung menggendongnya, masih merasa khawatir saat mengangkat badan kecilnya untuk mengganti popok dan bedongnya.

Saya melakukan semua itu dengan lebih santai saat dengan Hikari dulu. Padahal itu adalah pertama kalinya tapi sama sekali tak ada kesulitan. Hanya butuh waktu 3 hari bagi saya untuk menguasai semua hal tentang penanganan Hikari -kecuali memandikannya, itu spesialisasi umminya. Hanya dengan melihat istri dan mertua melakukannya, dan saya menjadi sangat ahli. Tidak ada rasa canggung dan takut, semuanya saya lakukan dengan yakin dan mantap seperti perawat bayi yang sudah berpengalaman puluhan tahun.

Saya pun terbiasa di rumah berdua saja dengan Hikari jika umminya ada keperluan keluar rumah atau memang dia sedang bosan dan kepingin keluar sejenak. Semuanya tentang Hikari bisa saya tangani.

Tapi Hoshi berbeda. Apa istilah yang pas ya? Hmm.. Susah menemukan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikannya. Rasanya Hoshi sedikit lebih 'rapuh' dibandingkan Hikari di usia yang sama, yang membuat saya harus ekstra hati-hati saat melakukan sesuatu yang berhubungan dengannya.

Menggendongnya dengan hati-hati sekali. Mengganti popoknya pun dengan kehati-hatian yang rasanya berlebihan. Tapi memang begitulah rasanya. Memang aneh. Karena mestinya saya sudah terlatih selama setahun membantu umminya mengurusi Hikari sejak bayi.

Perasaan indah saat menyentuhnya seingat saya tak berbeda dengan kebahagiaan yang selalu saya rasakan saan menyentuh kakaknya. Hanya saja selalu ada sedikit canggung yang terasa. Sudah 16 hari usianya, mudah-mudahan saya segera menemukan 'trik'nya.




Rabu, 28 Juli 2010

Gadis Kedua


Ini adalah Humaira Hoshi. Anggota terbaru dari keluarga kecil kami. Lahir pada tanggal 14 Juli 2010, sekitar pukul 13.40 WIB di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru. Alhamdulillah persalinannya normal, meskipun umminya harus menjalani induksi karena pembukaannya tak juga bertambah sejak seminggu sebelumnya.

Bayi mungil yang cantik. Berat lahirnya 3.7kg, jauh melebihi kakaknya yang hanya 2.4kg. Panjangnya pun melebihi kakaknya, 51cm, sedangkan Hikari 48cm. Tapi wajar saja karena Hikari lahir saat usia kandungannya masih belum genap 34 minggu sementara Hoshi lahir memasuki usia 38 minggu.

Semoga meneladani sifat-sifat mulia Aisyah r.a.
Semoga menjadi bintang yang bersinar terang.
Semoga menjadi anak pintar yang baik hati dan jujur.
Amin.

Alhamdulillah.
Terima kasih ya Allah untuk amanah yang Engkau titipkan kepada kami. 

Selasa, 06 Juli 2010

Perjalanan ke Toko Mainan

Sepertinya kemampuan berbicara balita dan kekayaan kosakatanya memang bertambah seiring dengan banyaknya hal baru yang ditemukannya.

Beberapa malam yang lalu, saya mengajaknya ke toko mainan di dekat rumah. Maksud hati hendak membelikannya bola karet yang bentuknya berduri-duri seperti durian. Dia selalu tertarik untuk merebut bola milik si Awan, tetangga depan. Sesampainya di toko mainan itu, pandangannya tak lepas menatap bola-bola mainan yang bermacam ragam yang tergantung-gantung di situ. Saya tanya mau yang mana, dan dia langsung menunjuk persis ke bola plastik bentuk durian yang memang menjadi niat awal. 

Bola diambilkan oleh pelayannya dan saya letakkan di kasir tapi tak langsung dibayar. Saya ajak dulu dia berkeliling di dalam toko. Sepertinya dia kebingungan melihat begitu banyak mainan di dalamnya. Tangannya menunjuk kesana kemari. Tapi sepertinya tidak terlalu tertarik. Sekedar menunjuk-nunjuk saja. Entah karena sudah tau akan dibelikan bola, entah karena bingung harus meminta yang mana.

Kami kembali lagi ke kasir setelah saya puas menggodanya. Langsung bayar dan berniat langsung pulang. Dia yang memegang bola itu dengan gembira. Tapi baru saja mendekati pintu keluar, bahasa tubuhnya mengisyaratkan kalau masih ada yang dia inginkan. Saya berbalik dan dia menunjuk ke arah bola-bola lagi. Kan udah, protes saya. Tapi dia terus menunjuk sambil mencondongkan tubuhnya mengajak mendekat. Ternyata yang ditunjuknya bukan bola durian, tapi bola-bola kecil warna-warni yang banyak dipakai orang untuk 'mandi bola' di mal-mal. 

Mau itu juga, saya tersenyum menggoda. Dia menunjuk lagi dengan bersemangat. Ya sudah dibelikan juga. Dia senang bukan kepalang waktu saya memberikan bola-bola itu untuk dipegangnya. Kedua tangannya sekarang punya pegangan masing-masing. Sepanjang perjalanan pulang dia tersenyum-senyum.

Esok harinya, satu kata baru telah dikuasainya walaupun masih cadel dan belum sempurna.

B-LLA.

Dengan bunyi O yang melebur di antara B dan L yang tebal...



Jumat, 02 Juli 2010

Antara L-H-I dan Father's Day

Beberapa minggu yang lalu, tepatnya tanggal 20 Juni 2010,  teman-teman facebook saya banyak yang memasang status tentang ayah. Saya baru tau kalau hari itu adalah peringatan Father’s Day.  Dan hari itu mengingatkan saya pada dua orang teman yang secara tidak sengaja membentuk ‘perilaku’ saya yang tidak berperasaan pada seorang teman saya yang lain.

Sejak awal saya penempatan di Pekanbaru, saya menyewa sebuah rumah bersama dengan beberapa orang teman yang salah satunya sudah tidak mempunyai ayah lagi. Kita sebut saja tokoh kita itu dengan L yang Ayahnya meninggal saat dia SMA. Beberapa kali meninggalnya sang ayah itu sempat menjadi topik obrolan kami. Dan walaupun terasa ada kesedihan dalam nada suara maupun gestur tubuhnya, tapi kadang kala dia malah becanda tentang hal itu. Dengan santai dia bisa berkata “ya aku kan dah gak punya bapak lagi, gak ada yang ngasih uang jajan beda dengan kalian” atau kalimat-kalimat sejenis.

Beberapa tahun kemudian, teman kos kami yang satu lagi juga kehilangan ayahnya. Yang ini kita sebut saja H, yang pada saat hari meninggalnya sang ayah tampak sangat terpukul. Teman saya yang lebih senior  bercerita, si H menangis dan berkata “aku nggak punya bapak lagi, Pak”

Kami semua tentu saja turut berduka cita. Tapi hidup terus berjalan, dan hari berganti dengan cepat. Beberapa bulan pun berlalu. Dan tiba-tiba saja kamimenyadari ada sebuah hubungan khusus antara L dengan H saat membahas sesuatu yang berhubungan dengan ayah. Mungkin bisa disebut semacam perasaan saling mengerti dan memahami akan kehilangan orang yang tersayang.

Tapi hubungan itu kadang mereka tunjukkan dengan cara yang terlalu ‘to the point’ dan terkesan saling mengejek. Kami pun berpikir mungkin kesamaan nasib lah yang membuat mereka bisa berbicara tentang ayah mereka yang telah tiada dengan tanpa tedeng aling-aling seperti itu. Dan entah bagaimana, kami pun tak jarang terseret masuk dalam kesamaan rasa itu dan ikut tertawa saat slah seorang mengejek yang lain. Atau malah menambahi dengan kata-kata yang lebih seru dan kami akan tertawa lebih keras. Sama sekali tak ada sakit hati karena sebentar kemudian akan kami lupakan untuk keesokan harinya kami ulangi lagi dengan tawa yang lebih keras.

Sekian tahun saya tinggal seatap dengan mereka dan kejadian tersebut terus berulang sepanjang tahun. Dan seperti saya bilang di awal cerita, hari-hari yang saya lalui dengan mereka itu kemudian membentuk alam bawah sadar saya secara tidak sengaja. Dan suatu kali saya sadar kalau saya telah menyakiti hati seorang teman saya yang satu lagi, seorang anak gadis yang juga sudah ditinggal pergi ayahnya.

Suatu kali saat sedang berkumpul bersama teman yang lain, dengan maksud becanda saya berkata “ah kamu kan udah nggak punya bapak” Enteng saja saya mengatakan hal itu dan tak sempat memperhatikan reaksinya karena kami semua tertawa.

Setelah beberapa saat kemudian saya tersadar. Dia mungkin tidak menunjukkan reaksi yang menyedihkan atau pun marah. Tapi saya yakin perasaan itu ada, dan saya lah yang memicunya. Ayahnya meninggal dalam suatu bencana. Dan saya menjadikan kehilangan itu sebagai bahan becandaan. Sungguh bukan hal yang patut dilakukan. Tapi entah mengapa saya tidak pernah meminta maaf kepadanya. Mungkin karena sikapnya kepada saya yang tetap seperti biasa. Berteman dengan biasa dan tetap becanda dengan biasa. Entahlah.

Dan membaca status teman-teman facebook saya beberapa minggu yang lalu itu mengingatkan saya kepadanya. Mungkin dia sudah lupa apa yang saya ucapkan, atau mungkin saja tidak. Saya ingin meminta maaf tapi tidak tau cara meyampaikannya. Saya tidak akan mencari pembenaran dengan cerita  tentang L dan H yang menjadikan status mereka yang anak yatim sebagai bahan guyonan. Karena bagaimana pun kehilangan orang tercinta tidak seharusnya ditertawakan.

Ah.  Saya menyesal sekali pernah becanda tentang ayahnya.

Maafkan saya, I.

Kamis, 01 Juli 2010

Lebih Murah dan Lebih Mudah Didapat

Susu Hikari sekarang udah 'naek kelas' ke Nestle NAN 3. Ternyata dia memang tipe setia yang nggak gampang berpaling dari susunya. Awal-awal dulu, pernah kami coba ganti dengan susu lain yang harganya setara, tapi Hikari nggak mau. Pernah juga coba dikasih susu yang terbuat dari kedelai, karena membaca di beberapa forum katanya kandungan susu kedelai lebih baik daripada susu sapi. Tapi lagi-lagi Hikari menolak. Ya sudah lah.. kecil-kecil udah ngerti merk.

Saat usianya hampir 1 tahun, saya sempat berpikir-pikir untuk mengganti susunya karena berpikir pasti semakin besar akan semakin banyak minum susunya. Lagipula saat itu Nestle NAN 2 sangat susah didapat. Hanya di toko-toko tertentu saja yang menjual, itu pun tak selalu ada. Di swalayan besar sekelas hypermart dan makro pun sering tak tersedia. Jika misalnya hari ini beli di toko A, seminggu kemudian belum tentu di toko itu tersedia stoknya. Jadi setiap kehabisan stok, harus muter-muter keliling Pekanbaru untuk cari NAN 2. Dan kadangkala malah dapetnya di tempat yang tak terduga.

Belajar dari pengalaman kesulitan saat mencari NAN 2 itu lah kami berpikir untuk mengganti susunya. Suatu kali saat berbelanja ke Giant dan lewat di bagian susu bayi, Hikari menjangkau-jangkau susu Dancow Batita yang sepertinya adalah produk baru dari Nestle untuk anak usia 1 tahun ke atas. Dan saya menganggapnya sebagai semacam 'pertanda' bahwa Hikari mau minum susu itu. Dan lagi, setiap kali mendengar nyanyian di iklan Dancow Batita, Hikari akan bereaksi dengan menggerak-gerakkan tangan dan badannya seperti orang menari. Tak lupa dengan ekspresinya yang penuh senyuman. Dan saya semakin yakin kalau dia memang 'berjodoh' dengan susu ini.

Dan ketika usianya menginjak 1 tahun, saya langsung membeli Dancow Batita untuknya. Tapi ternyata 'pertanda' yang diberikan Hikari adalah palsu. Haha. Atau saya yang sudah gila sehingga terlalu mengada-ada dan menghubung-hubungkan perilakunya karena kepengen mengganti susunya dengan yang lebih murah. Dia langsung menolak pada kesempatan pertama. Dancow batita gagal menggantikan NAN 3, padahal sama-sama produk Nestle. Untung belinya yang kemasan paling kecil, jadi nggak terlalu banyak yang terbuang. Dan begitulah.

Baiklah Nak. Asal kamu sehat dan rajin minum susu, merk apa pun akan Abi belikan. Doakan Abi tak pernah terlambat absen pagi ya...

Senangnya, harga NAN 3 ternyata sedikit lebih murah daripada NAN 2. Alhamdulillah. Walaupun selisih harganya tak sampai 20 ribu, tapi senangnya bukan main. Dikalikan sekian kaleng kan lumayan juga tuh. Dan yang menyenangkan lagi, NAN 3 tersedia di banyak tempat. Tidak seperti seri sebelumnya yang seperti barang langka. Di kemasannya dicantumkan ini untuk usia 1 - 3 tahun. Mudah-mudahan sampai 2 tahun ke depan susu ini tetap mudah didapat dan Kami terus diberi rezeki untuk membelinya. Amin.