Kamis, 21 Oktober 2010

Hoshi ; Diusir Security ^_*;

Di sudut bibir Hoshi, di bagian dalam, ada sesuatu berwarna putih yang menempel dan tak mau lepas. Wujudnya seperti susu yang mengental. Saya pertama kali melihatnya di hari kamis yang lalu. Dan lalu bertanya-tanya dalam hati, kok bisa?

Padahal seingat saya, dulu dokternya Hikari pernah bilang kalau hal kayak gitu biasanya terjadi pada anak yang diberi susu formula. Jadi akan ada sisa susu yang menempel di mulut dan harus rajin dibersihkan, soalnya kalau tidak, akan jadi tempat tumbuhnya jamur. Syukurlah Hikari nggak mengalami hal kayak gitu walaupun dia hanya sebentar mimik ASI. Nah Hoshi kan full ASI sampe saat ini, kok bisa?

Cepet ke dokter yuk, kata saya ke umminya H2. Ternyata pas banget hari sabtunya adalah jadwal Hoshi imunisasi, jadi bisa sekalian nanya.  Hari sabtu juga ada undangan kawinan adek temennya istri di masjid Annur.

Setengah satu siang kami berangkat dari rumah. Ketemu dengan nenek H2 yang nunggu di depan masjid, di depan rumah sakit. Pestanya meriah. Yang paling seru adalah, makanan dan minumannya banyak macam dan di-refill terus, jadi nggak pernah kosong. Hikari juga mau makan, disuapin neneknya.

Tempat praktek dokternya di samratulangi. Dokter anak Dewi Rubinar. Kata nenek H2, dokter ini adalah kepala zal anak di rumah sakit umum. Baru sekali kami ke sini. Tempat prakteknya rame. Pertama kali masuk, saya sudah membayangkan akan ada di situ sampai sore. Tapi ternyata nggak juga.

Ada banyak mainan di ruang tunggu. Udaranya pun sejuk, padahal ruangan penuh dgn anak-anak dan orang tua yang mengantre. Hikari selalu semangat jika berada di tempat yang penuh anak-anak. Maen seluncuran, juga mobil-mobilan. Dan terakhir -mungkin karena sudah bosan- maen kursi. Haha. Kursi plastik didorong-dorong kesana-kemari.

Giliran Hoshi dipanggil. Saya dan Hikari tetap bermain di ruang tunggu, Hoshi masuk dengan ummi dan neneknya. Beberapa menit kemudian sudah keluar lagi. Cepat. Ternyata tak jadi imunisasi. Yang di mulut Hoshi adalah semacam jamur dan itu harus disembuhkan dulu sebelum imunisasi. Cuma dikasih resep obat aja.

Udara siang itu panas menyengat. Katanya termasuk salah satu yang paling ekstrim di Pekanbaru tahun ini.

Nenek langsung pulang dengan Ines, sementara kami akan singgah dulu ke malCiputra. Esok harinya -minggu- ada undangan kawinan teman kuliahnya istri. Dan kata istri, temannya itu bikin status di fesbuk minta teman2nya yang hadir kalo bisa pake pakaian warna ungu. Karena termasuk teman dekat jadi istri kepengen memenuhi permintaan tuan rumah dan mau cari baju warna ungu. :)

Saya sebenarnya nggak suka bawa balita ke mal atau tempat sejenis yang tertutup. Saya selalu berpikir bahwa tempat semacam itu udaranya nggak sehat untuk balita. Hikari pun baru merasakan pergi ke mal saat usianya setahun lebih. Jadi rencananya, istri dan Hikari akan naik ke atas, ke matahari, untuk cari baju yang diinginkan. Sementara saya dan Hoshi menunggu saja di bawah yang sirkulasi udaranya lebih terbuka.

Sesampainya di Ciputra, istri bilang kenapa nggak nunggu di ruang menyusui aja. O iya, di situ kan ada Nursery Room yang lumayan nyaman. Eh, tapi kalo ada ibu2 yang nyusuin gimana? Ya ntar kalo ada ibu2 yang mau nyusuin, kami keluar aja. Kalo dah kosong, kami masuk lagi. Sip.

Nursery Room-nya di lantai dasar, di dekat pintu masuk sebelah barat, di belakang meja security. Ruangannya kecil saja, tapi nyaman. Sejuknya pas, nggak terlalu dingin. Ada sofa, juga loker untuk menaruh barang. Wastafel pun ada. Hoshi saya letakkan di tempat bayi dan saya duduk santai di sofa.


Cukup lama kami berdua di dalam situ. Mungkin sudah seperempat jam-an. Saya senang karena tak ada tanda-tanda kedatangan ibu yang akan menyusui. Juga senang karena Hoshi bisa tiduran nyaman.

Tapi kesenangan tak berlangsung lama. Baru saja berpikir-pikir hal di atas, ada ketukan di pintu. Saya pikir ibu-ibu yang akan masuk, tapi ternyata security.

S; Mohon maaf Pak, ruangannya khusus untuk ibu dan anak
A; Ya saya kan sama bayi nih Bang, boleh lah numpang nidurin.
S; Ibunya kemana Pak?
A; Sedang belanja ke atas. Kan ruangannya kosong Bang. Nanti kalo ada ibu2 yang mau pake, kami keluar deh.
S; Wah maaf Pak, aturan dari manajemennya memang begitu Pak, laki-laki nggak boleh masuk

Ya sudah lah. Tak enak pula berdebat dengan orang yang sudah bicara tentang aturan. Karena saya juga malas dibantah oleh orang kalau saya merasa menjalankan tugas berdasarkan aturan. :)

Akhirnya kami berjalan-jalan di lantai dasar sambil menunggu ummi dan Hikari. Hoshi tidur nyenyak dalam gendongan. Mungkin karena udara yang sejuk atau mungkin juga karena memang dia suka digendong. Beberapa kali ketemu dengan beberapa orang teman yang sedang berjalan-jalan dengan keluarganya. Juga sempat mengajukan aplikasi kartu kredit BCA yang ditawarkan oleh 2 orang gadis remaja, yang katanya lagi promo dan pasti di-approve walaupun tanpa jaminan. Kepengen masuk ke tempat makan cepat saji, tapi nggak jadi karena mikir bakal repot makan sambil gendong Hoshi.

Dan lama kemudian, setelah saya nyaris bosan dan Hoshi mulai membuka matanya sekali-sekali, Hikari turun bersama umminya. Sudah dapat baju yang diinginkan. Dan kami pun pulang. Istirahat mengisi tenaga kembali untuk pergi ke pesta keesokan harinya. :)

Rabu, 20 Oktober 2010

Pagar untuk Hikari

Dalam hidup selalu ada hal-hal yang mendesak untuk didahulukan yang mengalahkan kesukaan kita akan sesuatu hal yang lain. :)

Saya suka rumah yang tidak berpagar, memberi kesan halaman yang luas. Rumah orang tua saya di kampung juga tidak berpagar. Berdiri begitu saja di tengah kebun. 

Saya suka melihat kompleks perumahan di film hollywood yang rumah-rumahnya tidak berpagar. Halamannya langsung terhubung ke jalan lingkungan. :)

Maka kemudian ketika kami diberi rezeki untuk memiliki rumah sendiri, saya tidak punya pikiran untuk mendirikan pagar. Well, di bagian belakang dan samping tetap ada tembok yang mengelilingi. Ini karena orang tua dan mertua saya menganjurkan untuk alasan keamanan. Tapi di bagian depan rumah, saya biarkan begitu saja. Tetangga-tetangga berlomba mendirikan pagar dan kami bertahan tanpa pagar. Halaman rumah yang tak seberapa jadi terasa luas dan lega karena langsung bisa melangkah ke jalan yang di tutup paving block.

Itu alasan pertama, masalah kesukaan. Tapi sebenarnya yang juga jadi pertimbangan adalah masalah biaya. Hehe. Tidak murah untuk membuat pagar yang cukup enak dipandang mata sementara sebagai sebuah keluarga baru kami masih harus memenuhi beberapa kebutuhan lain yang lebih mendesak. Maka jadilah rumah kecil kami tak berpagar.

Mulanya tak ada masalah, semuanya berjalan baik. Lingkungan di mana kami tinggal pun relatif aman, jadi tak ada yang dikhawatirkan. Pun ada petugas ronda yang berkeliling kompleks di malam hari hingga pagi.

Keadaan berubah setelah Hikari mulai bisa merangkak. Sekali dua kali, jika pintu depan kami biarkan terbuka, dia akan merangkak keluar dari pintu langsung ke halaman. Tapi masih belum mengkhawatirkan karena biasanya dia akan berhenti di halaman itu saja lalu bermain tanah sampai saya atau umminya melarangnya lalu mengangkatnya kembali ke dalam rumah. Keadaan ini semakin membuat kami mulai berpikir-pikir tentang pagar depan saat Hikari mulai belajar berjalan sendiri. Di antara halaman dan jalan ada saluran air, dan kami khawati kalau-kalau Hikari terperosok ke situ saat melangkah.

Dan kebutuhan akan pagar depan itu memuncak saat Hikari sudah lancar berjalan, bahkan berlari. 

Layaknya anak yang baru pandai melakukan sesuatu, kepandaian itu lah yang akan selalu dilakukannya tanpa pernah bosan. Saat baru belajar berguling, dia akan berguling terus sampai terbentur tembok, atau dihalangi sesuatu atau bahkan terjatuh dari tempat tidur. Saat baru mulai bisa merangkak, dia akan merangkak terus tak peduli tempat - yang akhirnya memaksa kami membongkar tempat tidur dan hanya memakai kasurnya saja karena takut dia terjatuh dari tempat tidur yang tinggi. 

Begitu pun saat dia sudah mulai lancar berjalan. Tak ada nampak lelahnya menjelajahi semua ruangan di dalam rumah, dari depan sampai belakang. Dan kemudian mungkin dia bosan dan atau sudah hapal dengan keadaan di dalam rumah, Hikari selalu ingin keluar rumah. Raut wajahnya senang sekali jika kami temani dia berjalan-jalan di sepanjang jalan kompleks kami. Dari mulai pagi subuh yang dingin, hingga siang hari yang panas teris hingga sore yang berangin dan bahkan sampai malam yang gelap, dia terus berjalan dan berjalan.

Tapi tentu saja tak bisa terus begitu. Hikari lancar berlari sejak Hoshi lahir. Perhatian umminya pun tak bisa lagi sepenuhnya untuk dia, menemaninya berjalan sepuasnya. Di siang hari di hari kerja, jadi lah Hikari sering gelisah mondar-mandir di dalam rumah saja saat umminya menyusui Hoshi. Dan semakin lama dia pun semakin bosan di dalam rumah. Umminya bilang Hikari sering berdiri saja di dekat jendela depan dan memandang keluar dengan tatapan yang menyiratkan kalau dia pengen bermain di halaman atau di jalan.

Sampai akhirnya Hikari mulai sedikit 'anarkis' dalam menyampaikan keinginannya. Haha. Entah karena sudah terlalu bosan, atau mungkin ingin menarik perhatian umminya yang sedang menyusui Hoshi, Hikari mulai sering memukul-mukul pintu yang tertutup dan teralis jendela sambil berteriak-teriak keras minta pintu dibuka. Umminya tentu tak bisa segera menuruti kemauannya karena tak bias begitu saja memutuskan Hoshi yang sedang menyusu. Maka semakin kuat lah Hikari memukuli pintu dan terali jendela.

Kami pun menyerah. Memang sudah saatnya mendirikan pagar depan rumah. Pikir kami dengan adanya pagar depan, setidak-tidaknya pintu depan bisa dibuka dan Hikari bisa bermain di halaman dengan pagar tertutup dan dia nggak stress lagi.

Saat itu awal puasa, pas banget dapat rejeki TIGAHURUF. Kantor saya berada di jalur biru jadi jumlahnya lumayan besar. Alhamdulillah cukup untuk mendirikan pagar dan masih ada sisa untuk beli kue lebaran. :)

Begitulah. Rumah kami akhirnya berpagar. Dan umminya bisa menyusui Hoshi dengan tenang sementara Hikari bebas bermain di halaman. :)