Jumat, 11 Maret 2011

H2 dan Perhiasan

Hikari dan Hoshi tidak terbiasa memakai perhiasan. Sejak lahir hingga saat ini, perhiasan yang menempel di tubuh mereka hanyalah anting di kedua telinga. Selebihnya polos saja. Pintarnya kedua anak itu, anting mereka tak pernah sekali pun lepas atau hilang. Padahal kalau dengar cerita dari ayah-bunda lain, banyak yang kejadian anting anaknya hilang sebelah atau bahkan keduanya.

Bukannya kami sengaja tak membelikan mereka perhiasan supaya kelihatan lebih berkilau. :) Bukan pula karena takut perhiasan mereka hilang tercecer entah kemana. Semata-mata karena alasan ekonomis saja. Kondisi keuangan kami saat ini memang tidak memungkinkan untuk membeli bermacam-macam hal.

Selayaknya rumah tangga baru, ada saja kebutuhan yang dirasa lebih mendesak. Ditambah lagi memang masih ada beberapa cicilan yang harus kami lunasi per bulannya. Makanya tak mudah menyisihkan pendapatan untuk membeli perhiasan bagi Hikari dan Hoshi.

Maka kemudian ketika kami memiliki sedikit kelebihan rejeki dan mampu membelikan mereka, perhiasan itu akhirnya tersimpan saja. Alasannya ya semata-mata karena tidak terbiasa itu tadi. 

Anting yang dipakai Hikari adalah pemberian neneknya, beberapa bulan setelah kelahirannya. Itu dipakai selalu awalnya dimaksudkan agar Hikari nampak gadisnya. Karena Hikari kami pangkas habis rambutnya saat bayi sehingga orang yang baru jumpa sering bertanya cewek atau cowok. Jadi maksud kami, kalau ada anting di telinganya orang akan langsung tau jenis kelaminnya. :)

Uncle-nya, adek istri, membelikan gelang kecil dari bahan baja putih. Ada nama Hikari terukir di situ. Sempat dipakainya beberapa saat. Tidak lama, karena Hikari rusuh selalu berusaha melepas gelang itu. 

Tetangga kami di belakang rumah juga membelikan gelang kecil. Sekilas seperti emas, kuning cantik berkilau. Tapi setelah dipakai beberapa hari, gelang itu menghitam. Begitu dibawa oleh neneknya ke toko emas, tukang emasnya bilang itu sepuhan saja. Akhirnya gelang itu kami simpan saja, takut membuat kulit Hikari alergi.

Saat kami mengundang teman dan tetangga makan bersama akikah Hikari, banyak yang memberi uang untuk Hikari. Jumlahnya banyak setelah dikumpulkan. Itu kami belikan kalung. Tapi juga tak terpakai karena Hikari sepertinya tak betah. Lagi-lagi kemungkinan besar karena tidak terbiasa.

Begitulah sampai Hikari hampir dua tahun usianya, hanya anting dari neneknya yang dipakai selalu. Aman menggantung di daun telinganya.

Tapi beberapa hari yang lalu, Hikari sepertinya tertarik dengan cincin kawin Umminya. Dia memperhatikan dan memegang-megang jari Umminya. Dia mengangguk saat ditanya "Hikari mau cincin?" 

Maka malamnya langsung kami belikan cincin berbahan perak dengan hiasan anak bebek berwarna kuning tua di atasnya. Cantik. Beratnya 0.8gram. Tapi oleh penjualnya dihitung 1gram. Saat kami menunjuk cincin lain seberat 1.2gram, dia tetap menghitung 1.2gram. Sungguh curang. Tapi kami malas berdebat. Toh harganya juga tak terlalu mahal. Cuma 25ribu per gram. :)

Cincin itu dipakainya dengan bangga. Kami sering memergokinya sedang memandangi cincin itu seolah mengagumi. Dia pun selalu memamerkan cincinnya kepada orang yang baru ditemuinya. "Cicin Ai", begitu katanya.

Sayang seribu sayang, cincin perak itu tak bertahan lama. Hanya 2 mingguan melekat di jari Hikari. Mungkin terlepas entah dimana saat dia bermain. Tapi lucunya, setiap kali ditanya cincinnya dimana, Hikari akan menjawab : "Mbik Ayah." 

Diambil Ayah? Itu musatahil. Ayah adalah panggilan Hikari kepada ayah si Awan, tetangga depan rumah kami. Dan tak mungkin si ayah mengambil cincin Hikari. Atau kami salah mengartikan kata-kata Hikari yang memang sering berubah-ubah artinya?

Kami belum membelikannya lagi sejak itu. :)

Itu Hikari. Lalu bagaimana dengan Hoshi?

Kami tak payah membelikannya perhiasan. Sejak baru lahir, Hoshi mendapat kiriman anting dan gelang dari oom dan tantenya anggota milis migelas. Cantik, emas 24 karat. Anting itu lah yang dipakai Hoshi hingga sekarang. Sedangkan gelangnya kami simpan saja karena waktu itu masih terlalu besar untuk tangan Hoshi.

Begitulah anak-anak gadis kami. Tampil sederhana dengan perhiasan pemberian dari orang-orang yang mengasihi mereka. :)

Kamis, 10 Maret 2011

Hikari dan Parit

Kemarin sore Hikari jatuh masuk ke dalam parit di depan lapangan di sebelah rumah.

Kami -saya dan Hikari- baru saja selesai mengumpulkan rumput dari tanah lapang di sebelah rumah untuk makanan marmutnya. Berjalan pulang beriringan. Hikari di depan melangkah riang sambil tertawa-tawa. Saya mengikuti di belakangnya menggenggam rumput yang baru saja kami kumpulkan.

Kami memang berjalan di pinggir jalan. Di tepi parit yang memisahkan jalan dengan tanah lapang itu. Sama sekali tak terpikir Hikari akan jatuh atau terpeleset ke dalam parit karena dia berjalan lurus saja seperti biasa. Sesekali dia menoleh ke belakang ke arah saya sambil tertawa memamerkan segenggam kecil rumput dalam tangan kecilnya.

Kejadiannya sungguh cepat. Hikari tiba-tiba membuat posisi seperti hendak melompat. Kedua kakinya menekuk seperti mengambil ancang-ancang. Lalu tangannya menjangkau ke atas. Hap!

Dia melompat. Tapi keseimbangannya tidak sempurna dan sedetik setelahnya dia terjerembab ke depan. Saya panik

berusaha meraihnya. Tapi tak sempat karena dia keburu terguling ke samping kanan. Posisinya sedemikian rupa,

pas sekali. Ketika dia terguling ke kanan itu langsung tercebur ke dalam parit dalam posisi telentang.

Saya berteriak panik memandangi wajahnya yang cemas. Posisinya masih telentang di dalam parit yang ternyata lumayan dalam. Seluruh badannya dari kaki hingga leher terendam air. Tapi kepalanya tidak terendam seluruhnya, hanya bagian belakang saja pas sebatas telinga. Sepertinya dia berusaha menahan karena tangannya tetap menjangkau ke atas. Tidak ada tangis yang terdengar. Hanya teriakan kecil yang keluar dari mulutnya memanggil-manggil: abi-abi-abi.
Tangisnya baru pecah kemudian setelah saya mengangkat dan memeluknya erat. Sekujur badannya basah kuyup oleh air yang kotor menghitam. Kotor. Padahal dia sudah mandi sore.

Maafkan abi ya Nak.

Dengan ini berarti sudah tiga kali Hikari tercebur di parit itu. Yang pertama saat dengan temannya, Jeni. Tapi hanya kaki sebelah kirinya saja yang tercebur saat meloncat hendak menyeberang. Sendalnya hilang sebelah terbenam di dalam parit itu. Lalu yang kedua dengan nenek. Kejadiannya sama, tercebur saat meloncat hendak menyeberang dan sendalnya pun hilang sebelah. Bedanya dengan nenek yang masuk adalah kaki sebelah kanan.  Tapi dua kejadian itu tidak ada apa-apanya dengan yang dialaminya dengan saya, terendam seluruh badan.

Saat saya buka bajunya, tangisannya mereda dan hanya menyisakan sesenggukan sekali-sekali. Akhirnya mandi lagi, dengan air hangat karena hari sudah menjelang magrib. Begitu berendam di bak mandinya dan bermain-main dengan air, dia pun ceria kembali. Malah bisa mengadu ke umminya dengan bangga.

"Mi, tuh alet. Kakak Ai. Atuh alet."