Rabu, 16 Februari 2011

Hikari dan Nama-nama Binatang

Berkaitan dengan entry ttg Marmut Pemberian Kakek yang oleh Hikari disebut sebagai Lici atai Cici, jadi teringat tentang nama-nama binatang yang sudah diketahui oleh Hikari sejauh ini. :)

Sapi.
Ini adalah binatang yang pertama kali dimengerti dan bisa dikomunikasikan dengan Hikari adalah sapi, walaupun secara langsung dia belum pernah melihat wujud sapi.

Awalnya adalah karena umminya membelikan permen susu lollypop milkita. Jadi di dalam bungkusnya ada sticker gambar sapi denganberbagai pakaian; ada yang pakaian pramuka ada yang pakaian dokter dan sebagainya.  Saya tempelkan sticker sapi itu di pintu depan (bagian dalam) bersama Hikari sambil memberitahunya itu adalah gambar sapi. Dia mengulang "Pi".

Dan sejak itu resmilah Hikari mengenal sapi. Jika sedang bermain, lalu ada yang bertanya "mana sapinya?" maka Hikari akan berlari ke depan lalu menunjuk ke sticker yang menempel di daun pintu sambil berkata "Pi". :)

Anjing.
Selanjutnya adalah anjing. Tetangga di belakang rumah kami punya seekor anak anjing yang diberi nama Neli. Anak anjing itu diikat di samping rumah dan kerjanya adalah melolong-lolong sedih, mungkin minta dilepaskan dan ingin bermain. Sering kali di malam hari Hikari terbangun kaget mendengar lolongan si anjing lalu wajahnya mencari-cari dengan bingung. Umminya lalu akan menenangkan dengan berkata "Guguk tu, bobok lagi lah yuk." Lama kelamaan, jika terbangun di malam hari, dia akan langsung memandang umminya lalu menunjuk dan berkata "Guk-guk".

Untuk kasus anjing ini sepertinya Hikari sempat agak bingung. Umminya menyebut Guguk. Sementara Neneknya menyebut Gong-gong. Dan saya sendiri menyebutnya Anjing. Yang paling sering dipakai Hikari tetaplah Guk-guk, karena itu yang pertama kali dia dengar dari umminya. Kadang-kadang dia menyebut "Jing" jika bersama saya, atau gabungan keduanya: "Guk-guk-Jing" :)

Kucing.
Lalu ada kucing. Sama seperti kasus anjing, Hikari kami bingungkan dengan penyebutan yang berbeda. Kucing dan Meong. Hikari memakainya secara bergantian. Kadang-kadang menyebut Cing, kadang-kadang Miyong.

Nyamuk.
Berikutnya adalah Nyamuk. Kami tidak memakai obat anti nyamuk di kamar, jadi pembunuhan nyamuk dilakukan secara manual. Seringnya saya yang sibuk menepuk-nepuk nyamuk di malam hari setelah magrib. Dan Hikari selalu memperhatikan saya dengan wajah ingin tau jika sedang memburu nyamuk. Umminya memberitau "abi pukul nyamuk." Lalu lidah cadelnya pun mengucap sambil menunjuk ke atas "Muk".

Semut.
Semut dikenalnya karena di rumah kami memang banyak semut berkeliaran. Tapi karena lidahnya belum sempurna berlatih, pengucapannya persis seperti dia menyebut nyamuk : "Muk."

Cicak.
Saat umminya hamil tua hingga awal-awal kelahiran Hoshi, Hikari mendadak jadi manja sekali. Tidurnya pun jadi susah dan banyak syarat. Dia hanya akan tidur malam jika saya gendong sambil berjalan-jalan di luar atau sekedar diayun-ayun di teras depan. Sering kali hal itu berlangsung sampai lebih dari satu jam. Jika dia tak kunjung tidur dan saya sudah terlalu lelah, kami akan duduk berpangku saja sambil mengobrol. Obrolannya bermacam-macam tak tentu arah topiknya. Sesekali saya ajak dia mendongak ke atas ke aras plafon teras rumah memperhatikan cicak yang berkejaran di sekitar lampu. Dari situ lah Hikari mengenal cicak. Dia menyebutkannya dengan fasih walaupun dengan logat aneh : "Ciccak"

Sebutan Ciccak itu bertahan lama sampai suatu hari umminya mengajarkan lagu Cicak-Cicak di Dinding. Dengan susah payah Hikari berusaha mengikuti lagu ajaran umminya. Dan sejak itu, sebutannya kepada cicak berubah menjadi "Cak Dididin" atau sering disingkatnya menjadi "Dididin" saja. Haha

Ikan.
Saat berbelanja ke swalayan, Hikari sering saya ajak ke bagian ikan sementara umminya sibuk berbelanja. Biasanya lama kami berdiri di depan kotak kaca yang berisi ikan (biasanya gurami atau nila) yang berenang-renang sambil menunjuk-nunjuk. Dia senang sekali dan selalu berusaha menyentuh kaca dengan jarinya. Lalu menarik jarinya sesaat sebelum menyentuh kaca sambil tersenyum geli sendiri dengan ekspresi "kepengen tapi takut". Awalnya dia menyebut "Ikang" atau "Kang" tapi sekarang sudah berubah menjadi "Kan."

Ulat. 
Suatu hari dia bermain di luar bersama teman-temannya lalu mereka asyik memperhatikan bangkai tikus di selokan yang dikerubuti belatung. Saya menariknya menjauh sambil berkata "Hii ada ulat, sana yuk." Dan saat itu juga Hikari langsung mengulang "Lak."

Kaki Seribu.
Di rumah kami, entah kenapa, banyak sekali kaki seribu yang berkeliaran di lantai, terutama pada malam hari. Hikari akan sibuk menunjuk-nunjuk si kaki seribu sambil berkata : "Lak lak." Hehe. Dia mengira kaki seribu sama dengan ulat, karena kami memang tidak mengajarinya menyebut nama binatang itu.

Begitulah. :)

Marmut Pemberian Kakek

Hikari dan Hoshi dibelikan marmut anggora oleh kakeknya. Sepasang marmut yang lucu dengan bulu-bulu yang tebal dan tumbuhnya tak beraturan. Satunya berwarna hitam, dan satu lagi warna coklat dengan sedikit belang hitam.

Yang heboh justru umminya. Berulang kali bilang bulunya bagus bulunya bagus, haha. Tapi memang iya sih. Bulunya yang tumbuh berantakan itu memang enak dipandang. Dan satu lagi, suaranya juga lucu. Nyit-nyit-nyit (atau Ngik-ngik-ngik ya? POkoknya semacam itu lah.. Lucu!). Kalau ada yang mendekat, mereka ramai bersahut-sahutan. Bahkan sampai dini hari pun mereka terus berbunyi jika saya lewat di dekat kandang. Entah kapan tidurnya.

Saya cari informasi di google karena penasaran. Ternyata marmut ini namanya keren, Guinea Pig. Jenisnya Abyssinian. Keren kan? Kami belum memberi mereka nama, salah seorang tantenya Hikari mengusulkan dipanggil Aby. Haha.

Kakeknya sudah sekalian membuatkan kandang, jadi kami tak perlu repot lagi membuat atau membeli kandang. Berbentuk kotak berdinding kawat dan atapnya dari bahan semacam styriofom berwarna kuning. Di dalamnya ada pipa PVC yang cukup besar jadi si marmut bisa main sembunyi-sembunyian jika bosan, haha.   Kami letakkan mereka di dapur pada malam hari. Sementara siang hari, kami keluarkan dan kami letakkan di halaman samping. Kadang-kadang saya bawa mereka ke halaman depan jika mengajak Hikari bermain.

Makanannya rumput saja. Kalau baca di forum-forum sih ada makanan khusus yang bisa dibeli di toko hewan. Tapi kami belum sampai pada tahap menyukai yang sampai membelikan makanan khusus seperti itu. Selama masih bisa dicarikan makanan yg mudah, kenapa harus beli. Toh mereka juga rakus mengerat rumput yang kami sediakan. Ada serunya tersendiri, karena kami jadi tau rumput jenis seperti apa yang mau mereka makan dan rumput apa yang tidak. Si Ummi kadang-kadang mengambilkan kangkung yang tumbuh liar di halaman tetangga sebelah jika sedang berbaik hati.

Hikari sendiri tetap menyebutnya sebagai kelinci. (Lici atau Cici dalam versi lidahnya yang belum fasih.) Karena sejak awal, kami (terutama saya) memang memperkenalkan marmut itu sebagai kelinci. dan sepertinya nama itu yang melekat langsung di otaknya. Jadi berapa kali pun kami koreksi menjadi marmut, tetap kelinci juga dia menyebut.

Dia pun belum paham tentang memelihara binatang. Jadi yang dilakukannya adalah hal-hal yang pasti mengerikan bagi sepasang marmut itu. Menjerit di depan kandangnya (hasil latihannya dengan mbak Nindi). Atau memarahi mereka dengan berteriak-teriak "Lici! Lici!!" di depan kandangnya. Juga tak jarang dia memukul-mukul atap kandang sepenuh tenaga sehingga mereka sembunyi di dalam pipa. Untunglah maurmut-marmut itu tahan banting dan tidak stress diperlakukan Hikari seperti itu.

Tapi dalam hati masih ada sedikit kecemasan. Marmut ini kan binatang pengerat sejenis tikus, sedangkan tikus sudah jelas bisa menyebarkan penyakit. Amankah meletakkan marmut di dalam rumah?

Demam Bergilir

Cuaca ekstrim di Pekanbaru hari-hari belakangan ini akhirnya membuat Hikari jatuh juga. Senin yang lalu, anak gadis kami yang biasanya lincah bergerak tak pernah diam itu pun rewel diserang demam selama dua hari.

Meskipun sudah hampir dua tahun usianya dan sudah berkali-kali Hikari rewel karena demam, Kami tak pernah terbiasa melihat Hikari tidur gelisah di malam hari dan merengek-rengek di siang hari. Selalu ada rasa sakit dan tak berdaya karenanya.

Beruntung Umminya sigap dan telaten mencekokinya obat penurun panas serta antibiotik. Demamnya tak bertahan lama, hanya dua hari dan Hikari sudah kembali seperti sedia kala.

Sebagaimana yang dibilang oleh para orang tua yang sudah lebih berpengalaman, jika dalam keluarga ada anak yang sakit demam kemungkinan besar akan menular ke saudara. Ternyata benar adanya. Kami tak sempat menarik nafas lega karena sehari kemudian Dek Hoshi menunjukkan gejala yang sama dengan kakaknya. Badannya menghangat dan perilakunya lebih manja daripada biasa.

Selama ini Hoshi selalu lebih tahan banting dibandingkan kakaknya. Alhamdulillah sangat jarang sakit. Saya percaya itu karena Hoshi menikmati ASI lebih banyak daripada Hikari yang tergantung pada susu formula.

Akan tetapi sepertinya cuaca benar-benar ekstrim akhir-akhir ini. Demam dari Hikari pun 'pindah' ke Hoshi. Ditambah dengan pembawaannya yang memang manja, wajahnya tak kalah memelas dibandingkan Hikari. Tak mau diletakkan, pengennya digendong terus. Saat nyusu pun maunya sambil gendong. Dan meskipun merengeknya tak seheboh Hikari, tetap saja hati kami teriris-iris melihatnya berguling-guling gelisah dalam tidurnya.

Sekali lagi, kesigapan Umminya berbuah manis. Suhu badannya tak sampai memanas seperti kakaknya, hanya lebih hangat dari biasanya. Pemberian obat dipermudah dengan Hoshi yang lebih menurut dibandingkan Hikari. Saat ini Hoshi memang sedang dalam masa perkembangan dimana dia senang memasukkan benda-benda ke dalam mulutnya. Makanya obat yang disuapkan Umminya disambut saja dengan suka rela, tak seperti Hikari yang meronta-ronta. 

Bersyukur dengan sepenuh hati ketika kedua bidadari kecil kami akhirnya sehat kembali dan bisa menghadiri undangan pernikahan teman di hari minggu. Lalu malamnya bisa pergi ke rumah bude Yanti bermain dengan mbak Sarah dan mbak Nindi.

Tapi sekali lagi, sepertinya kami terlalu cepat merasa senang. Karena demam yang menyerang dua putri kecil kami ternyata belum tuntas. Sedang asik-asiknya memperhatikan Hikari yang heboh bermain, si Ummi mengeluh tak enak badan. Kepala sakit dan badan rasanya meriang. Mungkin karena siang tadi kepanasan saat pergi kondangan yang bikin stamina drop.

Saya langsung cemas. Sepertinya doa saya kemarin meminta Allah memindahkan demam dari Hoshi ke saya meleset dan malah singgah ke umminya. Ah. Terbayang betapa repotnya. Selalu kebingungan kalau si ummi sakit karena dia lah yang menjadi pengurus utama kami semua.

Dulu saat Hoshi belum lahir, Hikari masih bisa saya pegang jika umminya sakit. Tapi sekarang, gimana dengan Hoshi yang masih mimik ASI? Tiap sebentar Hoshi minta nyusu, gimana umminya bisa istirahat memulihkan energi dan stamina?

Akhirnya ummi pun tumbang. Keadaannya jadi serba salah. Dia perlu istirahat tapi Hoshi juga perlu ASI. Saya berusaha semampunya menggendong Hoshi jika merengek minta susu sementara umminya tidur. Tapi tentu saja tak bisa terlalu lama karena meskipun kelihatannya kalem tapi Hoshi bisa jauh lebih galak daripada Hikari kalau sedang merajuk.

Wanita selalu lebih kuat daripada pria dalam menanggungkan rasa sakit. Saya mengagumi istri saya yang tak mengeluh mesti bangun sewaktu-waktu dalam keadaan sakit untuk menyusui Hoshi dan mengurusi hal-hal remeh temeh lainnya di rumah.

Alhamdulillah keadaan sudah membaik dan pulih kembali. Istri hanya butuh 1 hari untuk memulihkan diri. Sungguh tak enak kalau istri sakit. Tak diragukan lagi kalau kesehatan adalah nikmat Allah yang tak ternilai.

Jumat, 11 Februari 2011

Obat Merah

Dulu, waktu saya kecil, obat luka yang paling merakyat adalah Obat Merah. Disebut demikian karena memang bentuknya berupa cairan berwarna merah. Encer seperti air biasa.
 
Kemasannya terbuat dari bahan plastik, kecil saja. Berbentuk botol bulat gepeng sedemikian rupa.
Di bagian mulut botolnya ada semacam kapas (atau kain kasa) yang gunanya agar obat merah bisa keluar merembes saat dipakaikan ke luka, jadi tidak sampai menetes banyak2.
 
Obat Merah lalu menjadi semacam nama generik. Apapun merknya, sebutannya adalah Obat Merah. Harganya pun kalau tak salah ingat, tidaklah mahal. Tapi entah lah ya. Saat itu saya belum mengerti nilai uang yang sebenarnya.
 
Sampai kemudian dominasi obat merah mulai dirongrong oleh Betadine. Saat pertama keluar, saya ingat sekali iklannya di radio. Ceritanya ada nenek-nenek yang terluka, lalu cucunya memberi Betadine. Dialognya lebih kurang seperti ini (intinya saja) :
Nenek : tapi nenek nggak suka warna merah
Cucu : ah nenek kuno, emang obat luka selalu merah? Betadine warnanya coklat keemasan.
 
Begitulah.
Sampai akhirnya obet merah menghilang dari pasaran dan generasi setelah saya tidak mengenalnya lagi. Bahkan mesin pencari sekaliber google pun tidak bisa menemukan gambar kemasan obat merah yang saya maksud.
:)