Minggu, 19 Juni 2011

abi jangan jemur pakaian

Umminya sedang menyusui Hoshi.
Abinya bantu-bantu jemur pakaian yang baru selesai dicuci.

Hikari : Apa Bi?
Abinya : Jemur pakaian
Hikari : Ummi ana Bi? (Ummi mana Bi?)
Abinya : Bobokkan adek
Hikari : Anang Bi. (Jangan Bi)
Abinya : Ngapa kok jangan?
Hikari : Gugu ummi aja. (Tunggu ummi aja)
Abinya: Ngapain nunggu ummi?
Hikari : Abi gak isa. (Abi nggak bisa)


Haha.
Sepele kali ini anak sama Abinya.

Selasa, 14 Juni 2011

H2 dan Bukittinggi

Akhir Mei yang lalu kami membawa Hikari dan Hoshi pulang ke kampung Neneknya di Bukittinggi. Ini pertama kali untuk mereka. Dan pertama kali juga untuk saya, mengunjungi kampung halaman tempat Nenek dilahirkan. Ini perjalanan jauh yang kedua untuk Hikari. Dia sudah pernah kami bawa ke Lampung saat usianya 6 bulan. Sementara untuk Hoshi, ini lah yang pertama. :)

Berbekal cuti 3 hari ditambah 1 hari cuti bersama, berangkatlah kami berempat ditambah Ines yang sudah libur seusai ujian nasional dan pak sopir yang baik hati mengantarkan kami pada jumat malam tanggal 27 Mei. Sudah terbayang seminggu menikmati segarnya udara Bukittinggi

Sengaja berangkat malam hari dengan mempertimbangkan jam tidurnya Hikari dan Hoshi. Jadi mereka tak rewel sepanjang perjalanan. Dan memang benar saja, belum sampai satu jam perjalanan Hoshi sudah tidur nyenyak di pangkuan Umminya. Hikari pun demikian, terlelap di pangkuan saya yang duduk setengah sadar di bawah pengaruh tablet anti mabok. Hihi.

Sudah hampir pukul 3 pagi saat kami tiba di Bukittinggi. Lebih lama dari yang seharusnya karena pak sopirnya nggak biasa bawa sedan, jadi katanya matanya silau kena lampu kendaraan dari arah berlawanan alhasil bawanya jadi nggak bisa terlalu kencang karena mesti lebih hati-hati saat berpapasan.

Kampungnya benar-benar di kampung, sekitar setengah jam lagi dari kota Bukittinggi. Dari jalan besar masih harus masuk lagi ke jalan kecil. Ini juga salah satu yang bikin lama karena istri sudah beberapa tahun nggak pulang kampung sehingga tak ingat lagi jalannya, ditambah lagi suasana malam yang memang sepi tak ada orang untuk ditanyai. Tapi alhamdulillah sampai dengan selamat. Tak ada masalah di sepanjang perjalanan.

Rumah ini adalah rumah neneknya ummi H2. Yang tinggal di rumah ini sekarang adalah tantenya ummi H2 beserta keluarganya. Rumah super besar berlantai papan dengan banyak kamar. Kamar-kamar itu mengelilingi sebuah ruanganyang luas ditengah-tengahnya. Di ruangan ini lah Hikari bebas berlari-lari bermain riang gembira dengan oom dan tantenya.

 
Mereka adalah sepupu ummi H2, tapi masih kecil-kecil. Yang paling besar kelas 2 SMU dan paling kecil kelas 3 SD. Kalau patuh pada silsilahnya, Hikari dan Hoshi seharusnya memanggil mereka dengan oom dan tante. Tapi Hikari sepertinya kebingungan karena mereka masih kecil. Akhirnya Hikari memanggil mereka dengan Abang dan Kakak.

Di rumah besar ada Farhan dan Abitab (anak-anak dari tante Neni, ada satu lagi yang sulung tapi sedang kuliah di Padang). Sedangkan di rumah 'kecil' yang menempel dengan rumah besar ada Andi dan Dita (anak-anak dari tante Les). Dengan mereka inilah Hikari dan Hoshi setiap hari bermain.

Kebanyakan sih mereka bermain di dalam rumah besar saja. Karena meskipun Bukittinggi memiliki udara yang sejuk, tapi matahari siangnya lumayan terasa menyengat. Rumah ini punya ruangan super luas di bagian tengahnya, jadi bisa dipakai untuk macam-macam. Mulai dari kejar-kejaran sampai main bulu tangkis pun mereka lakukan.

Tapi tidak selalu di dalam rumah sih. Sering juga kami main di luar. Terutama saat pagi hari, ketika matahari masih bersahabat. Bermain di halaman, atau berjalan-jalan di sekitar rumah. Letak perkampungan ini tepat di sekitar kaki gunung Singgalang dan Merapi. Setiap hari bisa memandangi keduanya yang berdiri megah kebiru-biruan, itu juga mereka tidak sedang bersembunyi dalam selimut kabut putih.



Mengunjungi tetangga dan saudara yang sekian tahun tidak pernah bertemu. Yang selalu jadi bahan pembahasan adalah ummi H2 betapa gemuknya sekarang dan betapa kurusnya dulu, suaminya yang masih keliatan muda dan keliatannya baik serta penyayang (ohok!), dan tentu saja Hikari Hoshi yang membuat gemas semua orang.

Tak lupa mengajak semuanya ke Jam Gadang (yang ukurannya tidak terlalu gadang sebenarnya) yang lumayan legendaris. Berdesak-desakan di dalam mobil yang tidak terlalu besar. Hikari paling bersemangat saat diajak berjalan-jalan di kebun binatang.




Yang agak merepotkan buat saya pribadi adalah airnya yang sungguh keterlaluan sejuknya. Di siang hari yang terik pun kulit terasa membeku jika terkena air, apalagi pagi hari. Terlebih lagi malam hari. Dan ini sebenarnya menjadi alasan yang bagus untuk tidak mandi, walaupun dengan resiko diejek oleh seisi rumah yang bisa dengan santainya mandi jam 6 pagi.

Malam hari juga menjadi siksaan tersendiri untuk saya. Dinginnya terasa membekukan kaki dan tangan. Gigi sampai gemeletuk menahan dingin. Butuh jaket dan selimut yang tebal agar bisa tidur dengan tenang. Saya menyukai daerah yang dingin, tapi tubuh saya sepertinya tidak compatible dengan suhu di malam hari.

Berbeda dengan Hikari dan Hoshi yang bisa dengan cepat beradaptasi dengan keadaan yang bertolak belakang dengan hari-hari di Pekanbaru. Oke, malam pertama masih tidur dalam satu selimut dengan saya. Eh, malam kedua sudah menolak diselimuti, tapi masih mau dipakaikan jaket. Dan malam ketiga... Sudah seperti biasa saja, seperti saudara-saudaranya yang lahir dan besar di sini. Tidur tanpa jaket dan selimut dengan nyenyaknya. Hebat. Sementara saya di sebelahnya menggigil di bawah selimut tebal.

Hari berlalu dengan cepat, dan sudah waktunya kami kembali ke Pekanbaru. Kami kembali hari jumat. Masih bisa sih sebenarnya sampai hari minggu, tapi Ines terima raport hari sabtu besoknya.  Pak sopir sudah tiba sejak pagi-pagi buta. Tapi ternyata persiapannya tidak bisa segera. Lewat dari pukul 9 kami berangkat pulang.

Oleh-olehnya banyak. Yang terutama sih hasil pertanian, karena memang komoditas ini yang jadi andalan di kampung. Sayuran dan sedikit buah-buahan. Serta tak lupa kerupuk sanjai dan lain-lain makanan olahan berbahan ubi kayu.

Khusus untuk Hikari, dia mendapat kesempatan untuk memilih boneka dari koleksi Dita yang ada se-lemari banyaknya. Banyak banget. Dan entah kenapa yang dipilih Hikari adalah boneka Dora. Hihi. Dora yang sudah kumal. Bajunya pun sudah tak ada lagi. Mungkin itu yang paling keren menurut dia.

Berbeda dengan saat berangkat yang dilalui dengan mulus, perjalanan pulang diselingi insiden muntahnya Hikari setelah melewati kelok sembilan yang legendaris. Mungkin karena perjalanannya siang, jadi dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tapi alhamdulillah setelah itu tidak ada lagi halangan yang berarti. Dan sampai di rumah menjelang jam 5 sore.

Liburan yang menyenangkan. :)



Hikari dan Kulkas Tanpa Kunci

Dalam hidup, katanya, selalu ada kompensasi yang harus ditanggung untuk setiap hal yang terjadi. Ada harga yang mau tak mau harus dibayar untuk 'kesenangan' yang kita nikmati.

Temans yang pernah baca manga Full Metal Alchemist atau nonton animenya pasti masih ingat kalau di situ berlaku prinsip pertukaran yang seimbang. Maksudnya untuk melakukan transmutasi kimia menciptakan benda tertentu diperlukan "bahan baku" tertentu yang jumlahnya setara. 

Mmm... Pembukaannya terlalu keren nih. Haha.. Bikin bingung ya... Kalau gitu, mohon abaikan saja deh. Karena saya juga jadi susah mau menghubungkannya dengan cerita yang akan saya tuliskan.

Begini..

Sejak bisa berjalan dan berlari dengan baik dan benar, Hikari mulai tertarik dengan kulkas. Kulkas di rumah kami itu kulkas kecil, satu pintu. Jadi tidak terlalu tinggi. Tak butuh waktu lama Hikari pun bisa menjangkau pegangan kulkas itu dengan tangannya. Tapi meski begitu, awalnya dia belum bisa membukanya. Lalu umminya mengajari dia cara membuka dan menutup kulkas itu.

Awalnya tak ada masalah dengan kepandaian barunya itu. Justru lumayan berguna karena kadang Umminya jadi bisa minta tolong diambilkan sesuatu dari kulkas jika sedang memasak di dapur. Menyenangkan dan membanggakan melihat dia bisa melaksanakan perintah-perintah sederhana itu.

Tapi yang terjadi hari-hari berikutnya adalah hal yang lumayan merepotkan. Hikari menjadikan kulkas itu sebagai mainannya. Kulkas di rumah kami itu tidak ada kunci pengamannya, jadi dia bisa membukanya setiap saat.

Tiap sebentar buka kulkas..
Mengambil makanan atau minuman yang tersimpan, baik makanan yang siap makan atau bahan mentah seperti sayuran. Paling merepotkan saat dia mengambil batu es di dalam freezer lalu menjadikannya mainan di lantai yang tentu saja akan mengundang kemarahan umminya karena lantai jadi becek dan licin.
Memindah-mindahkan barang-barang yang ada. Dikeluarkan seluruhnya, lalu dimasukkannya lagi. Seolah-olah dia ingin menyusun ulang barang-barang itu.
Main-main dengan saklar lampunya.
Dan yang paling parah adalah dia menjadikan kulkas itu sebagai tempat untuk mendinginkan badan. Jadi dia buka pintu kulkas itu, lalu duduklah dia di tepi kulkas dan pintunya ditutupnya (walaupun tentu saja tidak akan bisa tertutup karena terhalang badannya). Duduklah dia berlama-lama di situ sampai kami bujuk atau tarik paksa untuk pindah.

Terpikir untuk memodifikasi pintu kulkas itu supaya bisa dikunci, tapi belum tau caranya bagaimana. Ada teman yang memberutahu kalau ada semacam alat yang bisa dijadikan kunci yang biasanya dijual di hipermarket besar di bagian barang-barang dari jepang, tapi kami belum ketemu alat yang dimaksud.