Sabtu, 22 September 2012

Rumah Kontrakan [2]

Hari selasa pagi. Tanggal 4 September 2012. Saya berangkat dari Kalianda menggunakan sepeda motor. Ini perjalanan yang lumayan jauh. Kalau berdasarkan data di googlemaps sih sekitar 90-an kilometer. Lamanya dua jam perjalanan kalau menggunakan mobil dengan kecepatan sedang. Jalur yang ditempuh adalah jalur kencang karena merupakan jalan lintas yang dilalui oleh truk dan bus antar propinsi.

Niat hati ingin pulang hari saja, tapi istri berkeras membawakan pakaian ganti dan handuk serta perlengkapan secukupnya. "Nginep aja di rumah Wit, pulangnya besok", katanya. Wit yang dimaksud adalah Witarto, teman karib saya sejak masa SMP dulu yang sekarang  bekerja dan menetap di Bandar Lampung. Berat hati membayangkan berpisah dengan Hikari dan Hoshi, walaupun cuma sehari dua hari. Tapi sekali lagi istri berkeras menyuruh menginap. "Ntik capek badannya, Jalan jauh, belum terbiasa", katanya dengan penuh sayang.

Tak perlu 'mengejar' mesin fingerprint karena jari saya belum terdaftar di sana. Dan hari ini memang baru akan melapor ke kantor baru. Jadi sampai di kantor siang pun tak apa. :) Jadilah saya berangkat dari rumah sekitar pukul setengah delapan pagi. Waktu tempuhnya ternyata meleset jauh dari perkiraan saya yang hanya dua jam perjalanan. Sampai di kantor sudah hampir pukul sepuluh siang.

Ini terjadi -sekali lagi- karena saya bisa dibilang sama sekali buta dengan kota ini. Jadi begitu memasuki daerah Panjang, saya langsung bergantung sepenuhnya pada GPS di android. Dan secara saya naik motor, nggak mungkin sambil melototin GPS terus kan. Tiap sebentar berhenti. Ngecek jalan udah bener apa nyasar. Kalo nyasar muter lagi (untung saja jalur yang dilalui nggak ada jalan yg satu arah). Begitu lah.

Sesampainya di kantor, langsung ke bagian umum untuk melapor. Dibawa ke ruangan ini dan itu. Dikenalkan kepada pegawai-pegawai yang ada. Didaftarkan di mesin fingerprint oleh pegawai yang berwenang. Setelah beberapa arahan dan basa-basi, saya pun dipersilakan untuk bebas ngapa-ngapain. Karena toh belum dibentuk tim untuk saya dan belum ada penugasan pemeriksaan untuk saya.

Ya sudah akhirnya ngobrol sana sini dengan siapa saja yang keliatan senggang. Iseng turun ke ruangan pelayanan, nanya-nya kontrakan kepada sekuriti yang sedang bengong karena memang tidak ada Wajib Pajak yang datang melapor. Tak disangka si bapak sekuriti menawarkan kontrakan di belakang kantor, punya sodaranya katanya.

Jam istirahat pas si bapak ganti giliran jaga, berangkatlah kami ke lokasi dimaksud. Naek motor si bapak, saya membonceng di belakang. Letaknya memang di belakang kantor seperti di bilang si bapak. Tapi untuk menuju ke sana, harus berputar lumayan jauh. Rumahnya bagus sih. Bersih karena baru direnovasi. Saya coba airnya, juga bagus dan jernih. Tapi sayang sekali rumah ini tidak memiliki akses jalan masuk yang memadai. Jalan masuknya kecil, hanya bisa dilalui sepeda motor, itu pun sempit. Kalau berpapasan mesti hati-hati kalau tak ingin saling senggol. Ah. Dengan berat hati saya bilang tidak kepada si bapak dan bapak pemilik rumah.

Setelah itu saya berjalan ke sana ke mari di sekitar kantor bertanya kepada siapa saja. Siapa tau ada di antara mereka yang punya info kontrakan atau malah punya kontrakan. Tapi tak ada satu pun.

Sore hari, Witarto menunggu di depan kantor saya sekitar pukul setengah enam. Siangnya saya memang sudah menelpon akan menumpang semalam di rumahnya. Rute pulangnya katanya bisa melewati kantor saya, jadi sekalian dia singgah lalu saya mengikuti dia menuju rumahnya. Ternyata rumahnya jauh dari kantor. Dan melewati jalanan yang padat. Beberapa kali dia menghilang dari pandangan saya yang belum terbiasa dengan lalu lintas di sini. Untunglah tak sampai sesat dan akhirnya bisa sampai di rumahnya di jalan Pramuka.

Istrinya, Nana, sungguh baik hati. Sudah disiapkannya kamar yang bersih dan rapi untuk saya. Handuk dan segala perlengkapan mandi juga sudah tersedia. Makan malam yang dihidangkan pun lezat dan nikmat. Alhamdulillah bisa tidur nyenyak dan makan enak.

Oiya, Witarto ini punya baru punya 1 orang anak. Perempuan. Usianya menjelang 5 tahun. Keisya namanya. Keke panggilannya. Anaknya periang dan banyak bicara. Dia langsung bisa akrab dengan saya. Mungkin merasa kalau saya adalah teman baik ayahnya. Dia sangat tertarik dengan jenggot saya yang tak seberapa ini. Tak bosan-bosannya ditarik dan dimain-mainkan. Walaupun ayah dan ibunya melarang, tapi dia cuek saja. Sepertinya Hikari akan cocok bermain dengan dia, sama-sama banyak bicara. :D

Esok harinya, pagi-pagi sekali rumah sudah terasa sibuk. Ah Mbak Nana ternyata menyiapkan sarapan. Juga menyiapkan air hangat untuk mandi. Udara memang terasa dingin sih, tapi saya sebenarnya tak mandi pun tak apa. Hahaha. Toh malamnya sudah mandi. Tapi sudah disiapkan begitu rupa ya seneng juga sih. :)

Pukul 7 pagi berangkat setelah sarapan. Dan sukses terlambat beberapa menit. Hihi. Selain karena lagi-lagi terlalu bergantung pada GPS, juga karena jalurnya memang padat. Melewati Teuku Umar, Pagar Alam dan Raden Intan yang terkenal ramai di pagi dan sore hari. Ya sudah lah, terlambat sekali kan masih dimaklumi. Aaaak tapi potongannya kan lumayan~~

Kemudian seharian itu pun saya habiskan untuk berkeliling mencari-cari kontrakan. Masuk keluar gang. Menyambangi banyak perumahan. Nyasar di sana dan di sini. Sampai tak tau entah sampai di mana. Pokoknya selama baterai android masih ada dan GPS bisa hidup, jalan terus deh. Tapi bahkan sampai sore hari pun tak membuahkan hasil. Ada sih beberapa kali ketemu kontrakan, tapi ada saja yang tidak pas. Kalau tidak harganya yang tak terjangkau, ya masalah tempat parkir. Ada juga yang pas tapi airnya tak bagus. Begitu lah.

Karena baju ganti hanya dibawakan satu helai untuk hari itu saja, sorenya setelah menempelkan jari di mesin presensi saya langsung pulang ke Kalianda. Perjalanan terasa jauh karena bada letih. Tapi juga terasa dekat karena kangen yang tak terkira pada H2 dan Umminya. Seperti sudah berhari-hari tak berjumpa, padahal seharian juga sms-an dan telpon-an.

Lewat sedikit dari pukul 7 malam saya tiba di rumah. Anak-anak gadis langsung peluk mesra. Hikari pasang wajah merajuk karena saya tidak pulang satu malam. Tapi tak lama. Dirayu-rayu ditambah gelitikan sedikit saja dia langsung lumer. Si Ummi punya kabar gembira, Hoshi hari ini sudah bisa buang air besar di wc. Hueee.. Pintarnya Hoshi.

Malam itu terasa istimewa, hilang semua penat setelah mengadukan keletihan mencari kontrakan kepada istri tersayang. Istirahat untuk esok subuh berangkat lagi ke kantor di kota itu. :)


*ke bagian 3 yaaa

Selasa, 18 September 2012

Rumah Kontrakan [1]

Tidak mudah mencari rumah kontrakan di sebuah kota yang sama sekali tidak kita kenal. Ini yang kami alami selama dua minggu terakhir di bandar lampung. Well saya memang pernah 3 tahun tinggal di kota ini saat SMA dulu. Tapi masa itu lebih banyak saya habiskan di sekolah dari pagi sampai sore (dan nggak ada kelebihan uang jajan juga untuk jalan-jalan, haha). Lalu hampir di setiap hari libur saya pulang ke kalianda. Jadi kota ini benar-benar terasa baru untuk kami.

Pencarian rumah kontrakannya memakan waktu yang rasanya teramat sangat lama dan melibatkan begitu banyak orang-orang baik, teman dan saudara (juga kenalan baru), yang bersedia membantu dengan sepenuh hati.

Begitu mendapat kepastian bahwa saya dimutasikan ke Bandar Lampung, kami langsung menelpon mbah H2. Memberi kabar -yang disambut dengan gembira- dan sekaligus meminta tolong dicarikan rumah kontrakan untuk kami kepada teman dan saudara yang ada di Bandar Lampung. Pinginnya kan begitu sampai Bandar Lampung sudah ada rumah yang dituju untuk meletakkan barang.

Beberapa hari kemudian Mbah mengabari kalau rumah kontrakan sudah dapat. Lokasinya di Kemiling. Sesuai pesanan kami, tidak terlalu besar, tidak terlalu jauh dari kantor (15 menit perjalanan) dan airnya bersih. Menurut Mbah H2, rumahnya bagus dan sewanya juga relatif murah, 4juta rupiah untuk 1 tahun.

Etek yang mencarikan rumah itu. Etek ini adalah saudara kami dari pihak bapak, istri dari adik sepupunya bapak. Etek mencarikan rumah untuk kami bersama dengan anaknya, Ijah dan Titin, yang tinggal di Bandar Lampung. Okesip. Karena sudah ada kepastian tentang rumah kontrakan, kami pun tenang menjalani puasa dan mudik lebaran ke Bukittinggi sampai waktunya untuk benar-benar berangkat ke Lampung.

Tanggal 30 Agustus 2012 kami resmi meninggalkan Pekanbaru. Kota yang sudah lebih dari 1 dasawarsa lamanya saya tinggali dalam rangka mengabdi kepada negara. Kota yang sudah saya cintai dengan segala lebih dan kurangnya. Pasti nantinya kami akan kangen dengan panas dan berdebunya.

Rencana semula sih kami akan langsung menuju ke rumah kontrakan yang di maksud bersama dengan barang-barang bawaan kami. Tapi Mbah dan Nenek H2 lebih memilih untuk ke Kalianda dulu. Karena rumah juga belum dibersihkan. Lagi pula kami juga belum melihat langsung keadaannya , belum tau suka atau tidak nantinya. Repot kalau sudah bawa barang seabreg dan kami kurang suka. Maka begitu lah, kami langsung ke Kalianda, barang-barang juga. 

Esok harinya baru kami ke Bandar Lampung melihat rumah yang dimaksud. Ramai yang pergi, 2 mobil. Bersama kami juga ikut serta Om Wan, adik Mama, yang khusus datang dari Bandung untuk bertemu kami. Rumah itu kecil saja. Berkamar dua dengan satu dapur dan satu kamar mandi. Kondisinya masih agak berantakan, tapi ada tukang yangs edang bekerja memperbaiki ini dan itu. Lantainya berdebu, katanya sih debu itu berasal dari Anak Krakatau yang terbatuk-batuk beberapa hari lalu.
Lokasi dan harganya sudah lumayan pas. Ada tempat di samping rumah untuk meletakkan mobil walaupun tak beratap. Mbah dan Nenek H2 juga udah suka, Ummi H2 demikian juga. Lumayan jauh sih dari kantor, tapi setidaknya jalurnya bukan jalur macet. Airnya juga jernih dan bagus. Tapi saat kami melihat rumah itu, ada yang mengganjal di hati saya. Entah apa tapi rasanya kok kurang sreg.

Si ibu yang punya rumah mungkin mengerti kegalauan saya, haha, dan memberi waktu sampai tanggal 3 september untuk pikir-pikir. Ditunggu sampai pukul 2 siang. Baiklah. Tanggal 3 September itu adalah tanggal pelantikan saya di kanwil, jadi bisa langsung ke rumah si ibu lagi kalau memang jadi ngontraknya.

Acara pelantikannya ternyata lama, baru selesai setelah lewat waktu ashar. Kami langsung menuju ke tempat perjanjian. Saya masih tidak yakin, tapi ya sudah lah jadikan saja. Dan ternyata si ibu sudah tidak ada lagi. Sudah pulang ke rumahnya di way halim, kata anaknya yang tinggal di sekitar situ. Kami lalu menelepon si ibu dan dijawab bahwa selagi menunggu kami tadi ada orang lain yang tertarik dan langsung memberi uang muka. Ah.

Sebenarnya selain rumah itu, sebelumnya sudah ada satu rumah lagi rumah yang jadi pertimbangan. Fuad yang mencarikan. Teman sekantor saya waktu masih di Pekanbaru Senapelan dulu, teman istri juga. Dia bersedia repot-repot mencarikan rumah untuk kami begitu tau kami akan pindah ke Bandar Lampung. Katanya sih dulu waktu dia mutasi ke sini pun teman-temannya banyak membantu mencarikan dia rumah.

Karena kami sudah memprioritaskan rumah yang di Kemiling itu, rumah dari si Fuad pun akhrinya tidak jadi.  Tapi dengan keadaan yang sekarang ini, tak ada salahnya ditanyakan lagi ke yang bersangkutan. Maka kami pun langsung saja menuju ke kantornya di KPP Bandar Lampung, yang letaknya sejalan dengan kantor baru saya.

Fuadnya sedang dinas lapangan ternyata. Melalui telepon dia menyuruh kami langsung saja menuju ke rumah yang dimaksud. Letaknya di daerah belakang kantor situ. Tetapi sesampainya di lokasi, ternyata rumahnya batal dikontrakkan karena akan dipakai oleh anak dari si ibu pemilik rumah. 

Hari sudah senja. Kami kembali ke rumah di Kalianda. Ada kecewa dan rasa bersalah dalam hati kepada istri (juga Bapak dan Masto yang ikut serta) karena lambat mengambil keputusan tentang rumah di Kemiling itu. Ini juga di luar rencana dan saya sendiri yang akan repot dibuatnya karena berarti besok saya harus berangkat ke kantor menempuh jarak sejauh sekitar 90-an kilometer.

Selepas magrib, tapi belum isya, kami sampai di rumah.