Selasa, 31 Januari 2012

Hikari dan Huruf R

Hikari sudah bisa menyebutkan namanya dengan nyaris sempurna. Dengan bunyi R yang sudah terang. Rrrr. Masih agak kaku, tapi sudah tidak cadel.

Sebelumnya dia menyebut namanya sendiri dengan HIKAYI, HIKAI atau HIKALI.
Malam ini sudah jelas HIKARI.

Menariknya, huruf R yang bersih ini hanya berlaku untuk HIKARI saja. untuk kata lain, dia tetap cadel. Haha. Menyebut nama panjangnya pun dia kagok. HIKARI AZZAYA. Sama-sama ada huruf R-nya tapi beda pengucapannya.

Pintar.

Hikari dan PAUD


Ini adalah foto sekolah Hikari. Sekolah? Yaah tepatnya sih Kelompok Bermain. Tapi sebutan resminya sih PAUD, Pendidikan Anak Usia Dini. Semacam Playgroup tapi yang bayarnya lebih murah. Kalo Playgroup kan mahal, nah kalo PAUD ini relatif terjangkau biayanya karena katanya memang dapat subsidi dari pemerintah.

Namanya PAUD Thursina. Katanya Thursina itu adalah nama Ibu 'kepala sekolah'-nya. Lokasinya di Panam sini juga, di sekitaran komplek Perumahan Putri Tujuh. Pas kebetulan ada kawan akrab si ummi yang tinggal di Putri Tujuh, dan anaknya juga sekolah di tempat yang sama. Usianya udah 5 tahunan. Dimas namanya.

Sudah sejak lama memang Hikari minta sekolah. Di komplek perumahan kami, ada rumah di bagian depan (Blok A) yang dijadikan Playgroup dan TK Alifa Kids. Setiap pagi suara ibu gurunya yang bicara memakai pengeras suara terdengar sampai ke rumah. Hikari selalu penasaran mendengarkan dan bertanya-tanya kepada umminya. Beberapa kali juga umminya mengajak mereka melihat-lihat sekolah tersebut, diperbolehkan main di halamannya saat anak-anak yang lain sedang belajar di dalam kelas. Hikari selalu antusias.

Di jalan delima ada TK Annamiroh. Setiap kali pergi ke rumah nenek dan melewati TK itu, Hikari selalu berkata "Itu sekolah Kak Ai" dengan bersemangat. Di dekat rumah neneknya juga ada TK dan Hikari selalu senang diajak main di dalamnya.

Dan saat umminya membelikannya paket ulang tahun di KFC yang isinya antara lain Tshirt, backpack, topi dan buku catatan, dia senang sekali. Dipakainya selalu kemana-mana sambil berkata "Kak Ai mau sekolah."

Lalu kenapa tidak langsung disekolahkan saja sejak awal? Yang pertama tentu saja karena menimbang usianya yang saat itu masih 2 tahun. Kami merasa masih terlalu dini untuknya bergaul di antara teman-temannya tanpa pengawasan kami. Dan yang kedua, kalau pun disekolahkan, kami masih ragu dengan 'komitmen'-nya nanti. Apa iya akan betah di sekolah terus? Apa iya dia memang benar-benar ingin atau sekedar euforia sesaat saja?

Sekian minggu berlalu, dan nampaknya Hikari benar-benar serius dengan keinginannya. Selalu semangat jika diajak bicara tentang sekolah. Tetap menyebut TK Annamiroh di jalan delima sebagai sekolahnya. Juga tetap antusias mendengarkan suara ibu guru di Playgroup Alifa Kids setiap pagi.

Nah masalahnya adalah saat ini sudah masuk bulan januari, sudah lewat jauh dari tahun ajaran baru. Masih bisa kah Hikari masuk dan ikut belajar? Ah ternyata bisa!

Mama Dimas, kawan akrab si ummi, memberitahu kalau di PAUD tempat Dimas belajar, anak-anak bisa masuk dan ikut belajar meskipun tidak di awal tahun ajaran baru. Dan tidak perlu membayar uang pendaftaran, uang seragam dan lain-lain. Cukup membayar iuran bulanannya saja, 40ribu rupiah. Juga ada sejumlah pembayaran untuk buku-buku dan alat-alat bermain yang akan digunakan oleh Hikari selama di sekolah, 170ribu rupiah (dibayarkan sekali saja). 

Sekolahnya hanya 2 jam, mulai pukul 10 sampai dengan pukul 12 siang. Ini cukup memudahkan karena si ummi jadinya tak perlu terburu-buru mengantarkan Hikari di pagi hari. Juga menyenangkan bagi Hikari karena tidak terlalu lama berada di sekolah. Dua jam saja, bisa dianggap dia pergi bermain-main saja. 

Ibu gurunya hanya seorang. Namanya Bu Mai. Saya belum pernah bertemu dan melihat langsung. Tapi dari cerita si ummi, sepertinya beliau orang yang sabar dan penyayang.

Jadi sekarang si ummi punya rutinitas baru, mengantar dan menjemput Hikari setiap siang. Kata umminya, tidak ada rengekan di hari pertama. Hikari langsung mau ditinggal sendiri saja di situ. Mungkin karena Dimas juga sekolah di situ, jadi langsung ada teman. Atau bisa jadi juga karena memang dia sudah lama meminta untuk sekolah.

Seperti yang diceritakan di awal, lokasi PAUD-nya tak jauh dari rumah Mama Dimas, kawan akrab si ummi masa kuliah dulu. Makanya jadi ada tempat untuk singgah kalau si ummi males bolak-balik. Jadi setelah menurunkan Hikari di sekolahnya, si ummi dan Hoshi main-main dulu di rumah Dimas. Lalu jam 12 pergi jalan kaki menjemput Hikari dan Dimas.

Jaraknya dekat saja. Kalau pakai istilah di dunia persilatan, hanya sepelemparan batu jauhnya. Dan jalanannya juga bukan jalan yang ramai oleh kendaraan umum, jalan komplek biasa. Hikari bisa saja pulang berdua dengan Dimas yang sudah terbiasa pulang-pergi ke sekolah sendiri. Hanya saja, di salah satu bagian dari jalan yang mereka lalui itu ada saluran pembuangan air yang lumayan lebar dan dalam untuk ukuran balita. Yang menghubungan sisi satu dengan lainnya hanya jembatan kecil yang tidak memiliki pengaman/pegangan di sisi kanan dan kirinya. Oleh karena itu lah si ummi perlu menjemput mereka karena khawatir Hikari terlena saat melintasi jembatan kecil itu.

Begitu lah. Anak gadis kami yang pertama sudah beranjak mandiri. Banyak hal baru yang dipelajarinya bersama kawan-kawan dan ibu gurunya di sekolah. 



Selasa, 24 Januari 2012

H2 dan Betadine

*
Beberapa hari yang lalu, Hoshi jatuh di depan rumah saat sedang bermain dengan kakaknya. Kata umminya, dia jatuh di sekitar parit di pojokan depan, dekat pohon mangga kami yang tak kunjung berbuah itu. Kejadiannya di hari kerja, saya baru mengetahuinya saat tiba di rumah sore harinya.

Lukanya memanjang tepat di atas kelopak mata kirinya. Kata umminya jatuhnya terbentur pinggiran parit. Ah. Saya tak berani membayangkan. Ngilu rasanya memandangi luka yang berwarna coklat Betadine itu. Dia tertidur dengan gelisah sore itu. Pasti sakit sekali. Pasti menangis keras sekali. Pasti keluar darah banyak sekali.

Tapi Hoshi memang selalu kuat dan tabah. Gelisahnya hanya sampai malam itu saja. Esok harinya sudah bermain seperti biasa. Umminya berpesan supaya dia tidak menggaruk atau memegang lukanya. Dan dia memang tidak pernah menyinggung luka itu sama sekali. 

Sekarang sudah mengering, menyisakan warna merah muda di bekas lukanya itu. Sepertinya sih tidak akan terbawa sampai dia besar nanti karena bekasnya tipis saja dan mudah-mudahan segera menghilang. Semoga saja.


**
Hari minggu yang lalu, sore hari, Hikari mendadak terjaga dari tidur siangnya dan berjalan terpincang-pincang ke arah saya yang sedang duduk di ruangan depan. Kenapa Nak? Saya periksa sambil menggendongnya masuk kembali ke dalam kamar.

Ada luka di telapak kakinya. Di ujung telapak kakinya, dekat dengan jari-jari. Luka sejak kapan ini? Kami lalu mengingat-ingat kembali kejadian seharian tadi sejak pagi hingga dia tertidur. 

Sarapan bubur ayam di sebelah rumah sakit zainab. Tidak mungkin karena Hikari selalu di pangkuan saya. Lalu ke mal Pekanbaru. Di sini juga tidak mungkin karena lantainya relatif bersih kan dari benda-benda tajam. Dan juga kalau terluka di situ, mestinya langsung ketauan dari darahnya di lantai.

Jangan-jangan saat umminya membeli arem-arem di samping pagar Bank Indonesia? Ah iya. Saat umminya turun kan Hikari ikut turun dari mobil dan sendalnya tidak dipakai. Atau justru setelah sampai di rumah? Saat oom guru ngaji di mushola nganter undangan kawinan tetangga belakang, Hikari berlari-lari mengikuti saya membukakan pintu pagar. Dan dia tidak memakai sendalnya.

Luka itu tidak dalam nampaknya. Tapi agak sulit dipastikan juga karena Hikari selalu berontak menendang-nendangkan kakinya saat kami periksa. Lukanya memanjang mengikuti arah jarinya. Di salah satu ujungnya terlihat lebih gelap warnanya. Awalnya kami mengira itu darah yang mengental. Dan karena tangisannya makin menjadi, kami sudahi dulu pemeriksaan dengan mengoleskan betadine di lukanya.

Tapi warna kehitaman di ujung lukanya itu jadi pikiran. Jangan-jangan bukan darah yang menghitam tapi sesuatu yang tertinggal di situ. Mungkin duri atau serpihan kayu atau bahkan kaca? Jadi kepikiran karena Hikari menjerit-jerit kesakitan setiap kali umminya menyentuh bagian itu.

Hikari tidak pernah suka Betadine. Diolesi obat luka itu saja bisa membuatnya menangis seolah-olah sakit bukan kepalang. Drama lah pokoknya. Dan dengan memanfaatkan ketidaksukaannya itu saya berhasil membujuknya ke kamar mandi untuk mencuci lukanya.

Ternyata memang bukan darah yang menghitam, tapi serpihan kayu. Aduh Nak, ini pasti sakit sekali ya? Setengah tidak tega saya berusaha mencabut kayu itu dengan jari. Tidak mudah karena posisi kamis edemikian rupa dan masih harus menahan badannya yang meronta-ronta. Perlu beberapa kali -dan saya tau pasti menyakitkan- sampai akhirnya saya berhasil mencabut kayu tersebut. Lumayan panjang, mungkin setengah senti.

Setelah itu Hikari terbaring lemah di pelukan umminya. Alhamdulillah.


***
Hikari tidak pernah menyukai Betadine. Ada ketakutan di matanya setiap kali dia terluka dan kami akan mengoleskan obat itu ke lukanya. Perih kah? Sepertinya tidak. Atau dia tidak menyukai warnanya yang coklat gelap itu? Entahlah.

Sesekali saya iseng menakutinya dengan pura-pura akan mengoleskan betadine ke tangan atau kakinya. Yang biasanya berakhir dengan Hikari menjerit dan saya dimarahi umminya. Ahahaha.

Tapi lain Hikari, lain pula Hoshi. Dia sangat-sangat menyukai Betadine.

Jika kakaknya terluka dan diberi betadine, Hoshi akan meminta perlakuan yang sama. Dia akan memasang wajah memelas lalu memandang kami sambil menunjuk kaki atau tangannya (tergantung di mana luka kakaknya). Meminta kami mengoleskan betadine seperti kami mengoleskan pada kakaknya.

Untuk Hoshi, ini adalah semacam permainan yang menarik. Tidak akan cukup sekali. Setelah dioleskan, dia akan menunjuk ke arah tissu, meminta diambilkan. Lalu tissu tersebut akan dipakainya untuk mengelap betadine yang baru saja dioleskan di kulitnya. Dan setelah itu, ritual wajah memelas dan menunjuk kaki atau tangannya itu diulanginya lagi. 

Dioleskan lagi, dilapnya lagi. Begitu seterusnya sampai salah satu di antara kami bosan. Bisa dia duluan yang bosan karena melihat hal lain, bisa juga kami yang tak bisa melayaninya lagi karena harus mengerjakan hal lain. :D

Selasa, 03 Januari 2012

Hoshi dan Kaka Merangkai Kata

Sudah semakin luwes lidah Hoshi berbicara. Banyak kata yang awalnya masih cadel, sekarang sudah semakin mendekati bunyi yang sebenarnya. Salah satunya adalah panggilannya kepada Hikari. Jika sebelumnya dia memanggil Hikari dengan sebutan TATA (Kakak), sekarang sudah berubah menjadi KAKA. Masih  belum sempurna, dengan bunyi A yang menggantung di bagian akhir. Tapi sudah nyaris kan? :)

Hoshi juga sudah bisa merangkai kata. 
Meskipun masih ada jeda yang lumayan lama antara kata satu dengan kata selanjutnya, tapi sudah bisa membentuk kalimat sederhana dengan sempurna.
Ummi.... apa... kaka... anis? Ummi ngapa kakak nangis?

Alhamdulillah. Makin pinter ya Dek...