Kamis, 11 Oktober 2012

Rumah Tanpa Televisi

Sejak menikah, kami memang memutuskan untuk tidak membeli televisi. Well, saya sih yang awalnya mengusulkan hal ini dan alhamdulillah istri juga setuju. Tidak ada alasan khusus untuk hal ini, hanya waktu itu memang sedang tidak ada dana lebih untuk membeli televisi.

Ternyata akhirnya malah terbiasa. Tidak ada masalah meskipun tidak pernah nonton acara televisi. Lagi pun waktu itu kami berdua masih sama-sama bekerja di luar. Waktu seharian sudah habis di kantor masing-masing. Malam harinya bisa puas melakukan banyak hal berdua.

Hiburan pun masih bisa didapat dari banyak hal yang tak kalah romantis. Nonton film di bioskop sekali-sekali. Pergi ke tempat rental film, berdebat kecil memilih-milih film yang hendak disewa. Nonton berdua di rumah dengan leptop layar 14 inci (yang akhirnya hilang digondol maling). Atau tidak melakukan apa-apa, sekedar bermanja-manja sampai tertidur. :)

Nyaris tidak ada orang yang percaya setiap kali kami berkata tidak mempunyai televisi di rumah. "Ah masa sih?" selalu seperti itu disertai dengan pandangan yang merupakan gabungan antara heran dan aneh. Hihi. Padahal sih ya begitu lah, kami menjalaninya dengan biasa saja.

Tak terkecuali dengan ibu mertua. Mungkin karena tau keadaan keuangan kami, beliau jadi berfikir kami tidak membeli televisi karena memang tidak ada dana lebih padahal sebenarnya kepengen beli. Istri sih sudah menjelaskan keadaan sebenarnya bahwa kami baik-baik saja tanpa televisi. Tapi suatu hari, di bulan keempat atau kelima pernikahan kami, beliau membawakan televisi ke rumah. Itu adalah televisi bekas yang memang sudah tidak terpakai di rumah tapi masih berfungsi dengan baik.

Sudah ada televisi lalu jadinya mulai nonton lagi? Ya nggak juga.Televisi itu lebih banyak menganggur saja. Paling sekali dua kali saja saya tonton kalau sedang iseng. Kebanyakan sih di hari sabtu. Karena hari itu saya libur sementara istri tetap masuk kerja. Jadi nggak ada yang digangguin, dan nonton tivi lah sambil tidur-tiduran. :D

Lalu Hikari lahir. Karena istri masih ingin bekerja di luar, maka begitu masa cuti bersalinnya habis, kami pun mendatangkan seorang pengasuh dari bukittinggi. Seorang nenek-nenek, masih keluarga jauh sih. Etek Suma kami memanggilnya. Nah akhirnya Etek Suma ini lah yang lebih banyak menonton televisi. Tapi itu juga hanya siang hari. Malam hari hanya ditonton sebentar karena dia selalu tidur setelah waktu isya.

Ketika semakin besar dan mulai belajar berjalan, Hikari sudah mulai tertarik dengan televisi. Kalau pas televisi hidup, dia kadang-kadang ikut memperhatikan juga ketika sedang iklan. Dan hanya saat iklan saja dia berpaling ke televisi. Saat iklannya sudah habis, dia akan kembali lagi ke kesibukannya bermain, merangkak, dan segala macamnya.

Televisi itu akhirnya benar-benar pensiun setelah Hoshi lahir. Terletak begitu saja di ruang depan tak pernah dihidupkan. Lalu berpindah ke pojokan di dekat lemari komik ketika kami beres-beres ruangan depan karena suatu acara.

Maka tak heran jika Hikari dan Hoshi jadi sedikit norak ketika bertemu dengan televisi yang hidup. Seperti ketika berkunjung ke rumah teman, atau bermain ke rumah neneknya. 

Hikari awalnya selalu rusuh dan tak pernah suka jika ke rumah neneknya dan televisi hidup. Dia akan langsung mematikan televisi itu tanpa peringatan. :D Kebetulan letak televisi itu di ketinggian yang masuk dalam jarak jangkauan tangan kecilnya. Tinggal nenek dan bundanya lah yang kadang gemas karena mereka sedang asik menonton.

Kalau Hoshi lain lagi. Karena sehari-hari dia dan kakaknya menonton film dan lagu di laptop yang bisa diputar ulang berkali-kali, maka begitu ketemu dengan televisi dia pun menganggapnya sama dengan laptop. Jadi saat dia sedang nonton suatu iklan, begitu iklannya habis dia akan heboh meminta diulang. "Mau lagi! Mau lagi!" :D

Begitu lah. 
Sudah berbulan-bulan, di rumah kami memang tidak ada televisi. :)

Senin, 08 Oktober 2012

H2 Feat. Keke Trip Ke Pulau Tangkil

Begitu banyak pantai cantik yang ingin dikunjungi di Lampung. Setelah Krakatoa Nirwana Resort dan Banding Resort, hari minggu (08/10/12) kemarin kami ke Pantai Mutun yang dilanjutkan dengan menyeberang ke Pulau Tangkil.

Seperti biasa, perjalanannya diputuskan mendadak saja. Sabtu malam tiba-tiba tercetus ide "Ke Pantai Mutun yuk Istri, kata orang kantor pantainya bagus." Dan Ummi H2 langsung setuju. Eh tapi kami kan belum tau rute menuju lokasi, jadi gimana? Ajak Mbak Keke sekeluarga aja. Oiya. Langsung nelfon ayah Keke. Pas sekali mereka memang sedang tidak ada rencana di hari minggu. Maka jadi lah. Janjiannya ketemu di rumah Keke jam setengah delapan pagi. Oke.

Bisa sih sebenarnya pergi sendiri saja berbekal GPS di android yang terbukti akurat dan banyak membantu kami selama masa awal kami di sini. Tapi rasanya lebih seru kalau ramai-ramai kan.. :)

Pagi-pagi semuanya sudah bangun. Setelah bersiap seperlunya ini dan itu, yang ternyata cukup memakan banyak waktu, kami langsung berangkat ke rumah Keke. Sudah lewat dari setengah delapan, agak kencang bawa kendaraannya karena mikir sudah ditungguin.

Dan ternyata keluarga mbak Keke malah belum siap. Hihi. Ibunya sedang masak bekal untuk di makan di sana nanti. Hee, bawa bekal? Kami berpandangan. Karena memang tidak berpikir sampai situ. Jadi si Ummi hanya menyiapkan makanan-makanan ringan saja di dalam tas yang dibawanya, selain baju ganti tentu saja. Tidak terpikir bawa bekal nasi segala, karena yang terbayang hanya mandi sambil main-main di laut trus udah pulang. Haha.

Ya sudah akhirnya duduk manis minum teh botol dingin sambil nungguin Ibu Keke menyiapkan bekal untuk semua. Hikari dan Hoshi lari-lari dengan mbaknya seperti biasa. Ayah Keke memompa pelampung untuk anak-anak. Hikari dan Hoshi dapat pinjaman punya mbak Keke karena punya Hikari ketinggalan di rumah mbahnya dan punya Hoshi ternyata bocor.

Hampir pukul setengah sembilan saat semuanya akhirnya siap dan kami berangkat. Anak-anak senang. Hikari sibuk bercerita dengan Keke di depan. Hoshi asyik sendiri dengan pelampung berkepala buaya pinjaman dari mbak Kekenya.

Lokasinya ternyata lumayan jauh. Pantai Mutun ini sudah masuk di wilayah Kabupaten Pesawaran. Akses menuju ke sana lumayan mudah. Jalanan juga bagus. Kalau yang backpacker-an kayaknya juga nggak akan kesulitan karena ada angkutan kota (atau angkutan pedesaan ya?) yang melewati lokasi. Mobilnya pick-up model lama itu, yang penumpangnya naik dari bagian belakang dan tempat duduknya saling berhadapan. Oto Cigak Baruak kalo istilah minangnya, kata istri.

Sebelum sampai di Pantai Mutunnya, sepanjang jalan akan melewati lokasi pantai-pantai wisata yang lain. Ada banyak sih, tapi lupa apa-apa aja namanya. Hihi. . Ada komplek kuburan cina juga di perbukitan sebelah kanan. Melewati tempat pelelangan ikan, yang sayangnya hanya buka di sore hari. Dan setelah perjalanan sekitar 40 menitan, sampailah kami di tempat yang dituju.

Dari jalan utama, belok ke kiri sejauh 1km untuk menuju ke pintu masuk Mutun. Tapi di sepanjang jalan kok ada portal-portal dari batang bambu yang sepertinya dibikin oleh penduduk sekitar. Kami diberhentikan di salah satu portal, dikenai retribusi 5ribu rupiah. Ini resmi apa tidak ya? Tapi ada karcisnya juga sih. Ya sudah lah tak apa.

Di pintu masuk Mutun yang ternyata ramai, ada pos-pos kecil seperti kalau kita masuk ke tempat parkir di mal gitu. Menurut ayah Keke yang sudah pernah ke sini sih retribusinya dihitung per mobil sebesar 30ribu rupiah. Tapi ternyata lain dulu lain sekarang. Tarifnya dihitung per orang dan per mobil. Satu orang 5ribu rupiah, anak-anak tak dihitung. Satu mobil 30ribu rupiah. Tapi ada print-out tiketnya sih, jadi kayaknya memang resmi segitu tarifnya.

Ternyata sudah ramai. Anak-anak bersorak di dalam mobil, tak sabar ingin segera turun sementara kami berputar mencari tempat parkir yang kosong. Mesti berbalik satu kali karena parkiran penuh. Kami mengamati sekitar sambil mencari tempat yang kosong. Di sepanjang pantai terdapat pondok-pondok dari bambu yang bisa disewa untuk duduk-duduk dan meletakkan barang bawaan. Agak jauh ke belakang garis pantai, berjejer pondok-pondok kecil yang menjual souvenir dan makanan. Kaos-kaos bertuliskan I LOVE LAMPUNG dan I LOVE MUTUN yang paling banyak terlihat. Ingin beli sih, tapi kata ayah Keke harganya mahal.

Begitu turun dari mobil, Hoshi langsung menarik-narik tangan dengan tidak sabar. Seorang ibu langsung menawari kami untuk menyeberang ke Pulau Tangkil yang letaknya tak jauh dari pantai. Tarifnya 10ribu rupiah per orang dewasa (anak-anak tak dihitung), pergi dan pulang dengan perahu motor. Pulangnya terserah jam berapa aja, nanti tinggal telpon aja dan akan dijemput.



Rasanya pantai sudah terlalu ramai, saya tergoda untuk menyeberang. Ayah dan Ibu Keke bilang terserah, ngikut aja. Si Ummi bimbang karena gentar melihat perahu motor yang besarnya tak seberapa. Padahal ombaknya kecil saja, dan jarak pulaunya juga dekat. Waktu tempuhnya tak sampai 10 menit. Tapi wajar sih, si Ummi tumbuh dan besar di lingkungan yang jauh dari laut. Seumur-umur katanya baru 2 kali naik kapal, saat masih kecil dan jaman kuliah dulu. Itu pun kapal besar penyeberangan Bakauheni-Merak.

Hoshi terus menarik-narik saya sambil merengek mengajak bermain air. Akhirnya si Ummi setuju setelah diyakinkan ombaknya tidak besar dan perahunya juga dilengkapi dengan "sayap" di kanan dan di kiri, jadi tak akan terlalu oleng selama penyeberangan.

Bersama kami di dalam perahu ada satu keluarga lain yang ikut menyeberang. Pasangan muda dengan 2 orang anak yang usianya sebaya dengan Keke dan seorang perempuan yang sudah berumur, kemungkinan besar adalah neneknya. Perahu kecil melaju dengan kecepatan sedang mengarungi selat antara Pantai Mutun dengan Pulau Tangkil. Permukaan air yang bersih dan bening berada dalam jangkauan tangan, sejuk terasa di tangan. Anak-anak riang gembira menikmati angin laut yang bertipu semilir menerpa wajah. Ummi ternyata beneran kuatir, mengeluh pusing karena perahu yang naik turun dimainkan gelombang.

Memang tak sampai 10 menit, kami mendarat di Pulau Tangkil yang tenang. Udara sejuk dengan langit yang berawan, tak terasa sengatan matahari walaupun hari telah beranjak siang. Abang pemilik perahunya bertanya apakah sudah mencatat nomor hapenya (yang dijawab sudah oleh kami semua) dan berpesan untuk menelepon nanti jika akan kembali ke Pantai Mutun. Bayarnya nanti saja saat pulang. Oke, abangnya ternyata baik. Secara tidak langsung dia memberi jaminan bahwa dia pasti akan menjemput kami.

Pantai di Pulau Tangkil nampak jauh lebih bersih daripada di Pantai Mutun. Lebih landai dan lebih jernih. Saya langsung menuruti Hoshi yang tak sabar ingin nyemplung dengan pelampung buayanya. Hikari dan Keke bergabung dengan kami sementara Ummi dan Ayah Ibu Keke mencari pondokan untuk istirahat dan meletakkan bawaan. Oiya, ternyata di Pulau Tangkil ini ada retribusi lagi sebesar 3ribu rupiah per orang dewasa.

Saya terpesona dengan pantainya yang benar-benar cantik. Pasirnya putih bersih dan belum kotor oleh sampah. Entah karena selalu dibersihkan atau memang pengunjungnya punya kesadaran yang tinggi untuk menjaga kebersihan. Pantainya landai dan mempunyai air yang jernih. Sambil berdiri memandang ke bawah saja kita bisa melihat kelompok ikan-ikan kecil berenang ke sana ke mari.

Ayah Keke bergabung dengan kami tak lama kemudian. Sambil mengawasi anak-anak bermain dia bercerita ttg sewa pondok bambu yang ternyata lumayan mahal. 70ribu rupiah untuk satu pondokan. Kami berbagi dengan keluarga yang tadi sama-sama menyeberang karena memang pondoknya lumayan besar. Toh hanya dipakai untuk meletakkan barang bawaan saja. :)

Ibu Keke tak ikut main air karena bermasalah dengan gendang telinganya. Ummi H2 juga melihat saja dari batas sapuan air. Sesekali mengambil foto dan merekam dengan hapenya.

Di Pulau Tangkil ada juga permainan Banana Boat dan Perahu Kano yang bisa disewa. Tarif Banana Boat-nya 125ribu rupiah sekali jalan untuk 5 orang. Sepertinya seru. Saya yang belum pernah mencoba jadi senang memperhatikan orang-orang yang menaikinya.

Jadi ya untuk yang belum pernah naik Banana Boat seperti saya, permainan ini menggunakan semacam pelampung raksasa berbentuk pisang berwarna kuning. Orang-orang duduk di atasnya berpegangan pada tali yang ada di pelampung raksasa itu. Lalu pelampung tadi akan ditarik dengan speedboat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pantai. Lalu penumpangnya akan ditenggelamkan di lautan yang berisi hiu. Ahaha. Nggak ding. Dari lautan sana, speedboat-nya kembali lagi ke arah pantai tetap dengan kecepatan tinggi. Arah laju speedboat-nya lurus, lalu tiba-tiba membelok dengan ekstrim begitu mendekati pantai sehingga penumpangnya pun berjatuhan ke air. Tenggelam? Nggak lah, kan pakai rompi pelampung. Lagian jatuhnya juga udah di pantai. Pengen juga. Tapi anak-anak pasti nggak mau ditinggal.

Anak-anak tak bosan-bosannya bermain, padahal ujung-ujung jari sudah mengkerut keriput. Bisa jadi karena terlalu antusias. Hikari dan Hoshi sudah berkali-kali sih pergi ke pantai. Tapi yang benar-benar nyemplung mandi dari kepala sampai kaki ya baru kal ini. Ibu Keke memanggil dari tepian mengajak anak-anak makan. Mulanya tak mau. tapi setelah dijanjikan nanti main lagi setelah makan, mereka bertiga pun makan dengan lahap di pondokan. Nikmat sekali, makan di pantai setelah main air.

Selepas makan, istirahat sebentar. Trus lanjut main air lagi! Haha. Ibu Keke sementara itu duduk di pondok aja, berbincang dengan Nenek rombongan kami yang juga ternyata hanya duduk saja di situ. Ummi H2 nampak berjalan keliling, lalu berhenti di salah satu pondok berbincang dengan seorang ibu yang sedang asik merajut. Sepertinya Ummi H2 tertarik merajut.

Keke sesekali bermain agak ke tengah bersama ayahnya. Hikari sesekali keluar dari air dan sibuk bermain pasir di tepian, lalu berteriak-teriak histeris jika ombak datang dan pasirnya disapu air. Hoshi yang baru sekali mandi di laut sangat terganggu dengan rasa asin airnya. Berkali-kali dia berusaha mengelap air yang mengenai mulutnya dengan tangan, yang tentu saja akan menambah rasa asin karena tangannya pun juga basah. :D

Hari semakin tinggi. Tapi tak terasa panasnya karena awan masih saja bertahan menutupi matahari. Jari-jari tangan anak-anak itu makin keriput. Yak, udahan yuuk! Ummi H2 dan Ibu Keke berteriak memanggil menyuruh keluar dari air dan bersih-bersih.

Tempat untuk bilas dan bersih-bersih terletak di belakang pondok-pondok bambu, sekitar 50 meter lah jauhnya. Terdiri dari banyak kamar mandi berukuran 2x2 meter. Saya tidak menghitung, tapi sepertinya ada 20 kamar mandi yang terbagi 2 bagian untuk laki-laki dan perempuan. 

Sayang sekali, tempat bilasnya ini kurang memadai. Kamar mandinya tidak mempunyai kunci, setidaknya ini yang saya temui di bagian laki-laki. Jadi kalau hendak berganti baju, harus ada yang berjaga di luar. Lalu di kamar mandinya juga tidak ada lampu. Dan yang terakhir, di tempat ini dikenakan tarif 2ribu rupiah per orang. Yaa walaupun tak seberapa, tapi alangkah menyenangkannya kalau fasilitas seperti ini disediakan gratis untuk pengunjung. Kan?

Oke, semuanya sudah bersih dan segar. Waktunya bersantai sebentar sebelum pulang. Sempatkan dulu foto-foto di pantai. Hikari sibuk mengumpulkan kerang. 



Ternyata keluarga yang bersama kami juga sudah siap berkemas, kebetulan sekali. Mereka setuju saat kami mengajak kembali ke Pantai Mutun lagi. Suaminya yang akhirnya menelepon Abang pemilik perahu yang mengantar kami tadi. Perahunya datang tak lama setelah ditelepon. Kami pun pulang dengan gembira. Mungkin nanti suatu saat kami akan datang lagi. :)


Senin, 01 Oktober 2012

Rumah Kontrakan [4]

Setelah pencarian kontrakan yang terasa sangat melelahkan, Ummi H2 ditelpon oleh Randhu, istri dari Fuad, teman kami semasa dia masih bertugas di Pekanbaru dulu. Ada rumah dikontrakkan di sekitar perumahan tempat mereka tinggal itu juga. Rumah itu kosong, pemiliknya ada di Way Halim. Dari Randhu kami memperoleh nomer telepon pemilik rumah, Pak Yazid namanya. Menurut Randhu, harga sewanya 5jutaan setahun, tapi Randhu menyuruh kami mengkonfirmasi lagi ke si bapak.

Dilihat sekilas dari luar, rumahnya lumayan bersih walaupun sudah lama tidak dihuni. Berjarak 3 jalan dari rumah Fuad dan Randhu. Sudah berpagar dan ada space kosong lumayan luas di bagian depan, bisa untuk memarkir mobil Ummi H2. Walaupun tak beratap tapi tak apa, setidaknya mobil berada di dalam pagar. Dan sukanya lagi, rumahnya dekat dengan masjid. :)

Begitu dihubungi oleh Ummi H2, alhamdulillah ternyata memang rumahnya dikontrakkan. Tapi menurut Pak Yazid, rumah tersebut adalah milik anaknya. Jadi dia akan mendiskusikan dulu harga sewa dengan anaknya. Dan alhamdulillah setelah menunggu beberapa hari, kami sepakat dengan harga sewa yang ditetapkan mereka. Tanggal 13 September 2012 membayar uang muka sebagai tanda jadi. Dan tanggal 18 September 2012 resmi kami menempati rumah ini setelah melunasi uang sewanya pada tanggal 16 September 2012. :)

Rumah kontrakan kami yang sekarang ini suasananya lumayan enak deh. Lokasinya memang lumayan jauh dari kantor saya, tapi lingkungannya nyaman dan sejauh ini aman. Berada di sebuah komplek perumahan sederhana yang luas sehingga tidak bising dengan suara kendaraan bermotor yang lalu lalang. Kendaraan yang lewat kebanyakan hanya milik penghuni perumahan saja.

Daerahnya terletak di perbukitan. Kalau malam tiba, udaranya berubah sejuk. Hikari dan Hoshi yang selama di Pekanbaru tak bisa lepas dari kipas angin dan pendingin udara jika tiddur di malam hari pun sekarang bisa tidur dengan nyenyak cukup dengan kipas angin yang berputar pelan saja. Apalagi kalau memasuki dini hari menjelang subuh. Hiiyyy, dinginnya terasa sampai ke hati dan bikin malas mandi. :D

Berbeda dengan rumah kami yang dahulu, di lingkungan sini setiap pagi selalu ramai dengan ibu-ibu yang berjalan berkeliling menggendong bakul berjualan sarapan. Menu yang dijual sama, nasi uduk dan lontong sayur.  Beberapa kali kami membeli dari ibu-ibu yangberbeda-beda, cara penyajiannya pun sama. Dan mereka pun berasal dari kampung yang sama, dari daerah Palang Besi, di sebelah bawah perumahan ini. Harganya murah, hanya dengan tiga ribu rupiah saja sudah bisa menikmati nasi uduk atau lontong sayur untuk sarapan di pagi hari. 

Ada juga alternatif menu sarapan yang lain berupa tukang bubur ayam menggunakan gerobak dan bubur kacang hijau yang berkeliling menggunakan sepeda motor. Oiya, dan penjaja Sari Roti yang sudah berkeliling sejak setengah enam pagi. Ramai.


Malam harinya pun tak kalah ramai orang yang berjualan keliling. Ada banyak tukang bakso silih berganti. Juga Mas-mas penjual nasi dan mi goreng. Yang jual mi tek-tek pun ada. Lumayan lah untuk mengganjal perut jika sedang merasa lapar karena mengerjakan sesuatu hingga larut malam.

Kecamatan Kemiling memang sudah berada di luar kota Bandar Lampung. Tapi tak terlalu jauh juga. Dan sebenarnya segala kebutuhan sehari-hari bisa didapatkan dengan mudah di sini, tak perlu jauh-jauh ke kota. Warung harian, pasar tradisional, warung makan, penjual kue dan makanan kecil, penjual buah, semuanya tersedia. Tapi kalau pun ingin ke kota, akses jalannya juga relatif mudah. Bisa lewat Imam Bonjol sana, yang nantinya tembus ke mana-mana (tapi kami belum hapal semuanya). Bisa juga lewat Lembah Hijau kalau ingin jalanan yang lebih lancar. Rute ini yang lebih kami sukai karena bebas macet dan udaranya segar karena sepanjang jalan masih banyak pepohonan dan kebun.

Jalur Lembah Hijau ini juga yang sehari-harinya saya tempuh menuju dan pulang dari kantor. Sesuai namanya, memang melewati daerah lembah yang mendaki dan menurun. Dan memang udaranya masih segar. Jika sedang musim durians eperti sekarang, sepanjang jalan tercium bau harum durian dari lapak-lapak yang menjajakan durian di pinggir jalan.

Waktu tempuhnya dengan menggunakan sepeda motor sekitar setengah jam. Ini setengah jam-nya setengah jam yang lumayan kencang dan jalanannya lancar ya.. Bukan setengah jam di jalanan yang ramai dan macet. Jadi ya memang lumayan jauh. Bisa sih mungkin tembus dalam waktu hanya 20 menitan, tapi saya memilih santai dan mengusahakan untuk tidak terburu-buru. Ini karena jalurnya yang banyak tikungan. Dan saya tidak pernah pintar berkendara di tikungan yang relatif tajam. Main game balap saja saya kerepotan melewati tikungan, apalagi dalam kehidupan nyata. Ahaha. 

Yang paling terasa tentu saja konsumsi bahan bakar sepeda motor. Kalau dulu isi 30ribu bisa dipakai seperti tak habis-habis, sekarang dengan uang yang sama paling-paling hanya bertahan satu mingguan. 

Begitu lah.