Kamis, 02 Januari 2014

Pemandian Way Belerang Kalianda

Sudah lama sekali tak mengajak anak-anak pergi ke tempat wisata alam. Akhir-akhir ini paling kami membawa mereka jalan-jalan ke tempat permainan anak yang berada di pusat-pusat keramaian atau di pusat perbelanjaan. Seperti di PKOR Way Halim atau ke Giant Ekstra yang ada di jalan Pangeran Antasari sana.

Selain kaya dengan pantai-pantai yang indah, Lampung juga memiliki banyak objek wisata alam yang tak kalah eloknya. Salah satu yang lokasinya dekat dengan rumah mbah H2 adalah Pemandian Way Belerang yang terletak di Desa Sukamandi, Kalianda. Sebagai orang yang lahir dan besar di Lampung, saya malah belum pernah sekali pun datang ke tempat ini.

Kami pulang ke rumah Mbah H2 di Penengahan pada hari rabu tanggal 25 Desember 2013, bersama dengan Ibu Keke yang ingin liburan di rumah mertuanya. Libur nasional ditambah cuti bersama keesokan harinya membuat kami memiliki waktu yang cukup panjang untuk menikmati liburan. Hikari dan Hoshi juga memang sudah kangen ingin ketemu dengan mbahnya. Sekalian ingin mencoba baju renang baru yang dibelikan oleh Tante Nadya di kolam renang pribadi mereka.

Idenya datang mendadak saja. Tiba-tiba si Ummiyo mengajak pergi ke Pemandian Way Belerang. Meskipun belum pernah ke sana, tapi saya yakin akan mudah menemukannya karena samar-samar saya masih ingat gerbang masuk ke tempat itu. Ketika Ummiyo menceritakan rencana itu, ternyata Keke dan Rahma juga ingin ikut. Ya sudah berangkatlah kami hari kamis pukul 2 siang.

Sebenarnya ada 2 tempat yang biasa didatangi oleh orang-orang yang ingin mandi air belerang. Yang pertama tentu saja Way Belerang di Kalianda itu. Sudah dikelola dengan baik dan sudah dibuat kolam-kolam untuk berendam. Satu lagi terletak lebih jauh ke atas. Kalau tak salah pintu masuknya di Desa Kecapi. Tempat ini masih lebih alami, air yang keluar juga suhunya jauh lebih panas dan bau belerangnya lebih menyengat. 

Saya memiliki kenangan masa kecil akan tempat yang satu ini. Dulu waktu kecil pernah sakit gatal-gatal yang tak kunjung sembuh. Bapak membawa saya untuk mandi air belerang di tempat ini. Naik angkutan pedesaan dari rumah dan berhenti di Desa Kecapi dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jaman dahulu jalannya masih belum diaspal, masih jalan berbatu seadanya. Jalannya mendaki dan terasa jauuuh sekali. Tapi saya ingat saya tak merasa capek ketika itu. Lokasinya juga susah dijangkau, curam dan licin.

Baiklah, sudah cukup nostalgianya. :D Tempat yang kami tuju adalah yang ada di kota Kalianda, yang lebih dekat dan lebih mudah dijangkau. Repot kalau harus berjalan kaki mendaki sambil menggendong dua balita kan...
Dari Penengahan, kami menuju ke arah kota Kalianda. Waktu tempuhnya sekitar seperempat jam via jalan lintas sumatra. Masuk ke kota kalianda melalui persimpangan yang ada Patung Raden Intan-nya. Teruus saja sampai melewati pasar. Jalanan lancar. Jangan kuatir tersesat ya, karena ada penunjuk arah yang cukup jelas di beberapa tempat. Jika ragu, tinggal bertanya kepada sembarang orang dan mereka bisa menunjukkan arah ke Way Belerang.

Untuk ukuran ibukota kabupaten, Kota Kalianda ini relatif tenang dan sepi. Tidak terlalu ramai seperti layaknya sebuah ibukota kabupaten. Entahlah kenapa Kalianda yang dipilih sebagai ibukota Lampung Selatan. Tapi biarlah kita tinggalkan saja hal tersebut menjadi urusan para pejabat setempat.

Sekitar 5 menit kemudian kami sudah sampai di gerbang desa Sukamandi yang merupakan jalan masuk utama menuju Pemandian Way Belerang. Ini adalah gerbang yang saya ingat sebelumnya. Dari gerbang ini, tinggal ikuti saja jalanan yang mendaki menuju lokasi. Perjalanan sempat tersendat sebentar karena kipas radiator yang mendadak berbunyi keras mengganggu. Juga diwarnai dengan insiden salah mengambil belokan karena tak ada penunjuk arah di suatu persimpangan. Untung belum jauh dan kami segera bertanya kepada penduduk setempat. Tak jauh dari persimpangan tanpa penunjuk arah itu lah pintu masih Pemandian Way Belerang berada.


Tiket masuknya 10ribu rupiah, sudah termasuk asuransi. Parkir kendaraan roda empat dikenai tarif 5ribu rupiah. Bau belerang tercium menyengat hidung ketika kami memasuki areal parkir. Tempat parkirnya luas dan cukup nyaman. Banyak pohon rindang yang sepertinya usianya sudah lumayan, terlihat dari batangng utamanya uang lumayan besar. Udara di tempat parkir itu sejuk. Betah rasanya berlama-lama di situ.

Di tempat parkir itu banyak yang menjajakan belerang kering yang sudah dibentuk balok-balok kecil seukuran kotak korek api. Warnanya kuning pucat. Kata yang jualan sih, nanti digunakan sebagai sabun gosok ketika berendam di kolam. Harga awalnya 5ribu per 3 bungkus. Lalu menjadi 5ribu per 4 bungkus tanpa ditawar. Ibu Keke yang beli. Untuk menuju tempat pemandiannya, cukup berjalan melewati tempat parkir yang teduh itu, mendaki sedikit ke atas.


Tempat pemandiannya dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi. Di pintu masuknya ada warga setempat yang menyediakan jasa penyewaan ban. Kami menyewa untuk dipakai anak-anak. Tarif sewanya 10ribu untuk 4 buah ban, bisa dipakai sepuasnya asal tak dibawa pulang.

Kolamnya ternyata ada 2 buah. Yang satu adalah kolam besar yang cukup dalam dan diperuntukkan bagi orang dewasa. Kami melewati kolam ini ketika menuju ke kolam satu lagi yang agak sedikit lebih kecil dan diperuntukkan bagi anak-anak. Dalamnya hanya sepinggang orang dewasa. Ketika Hikari nyemplung, batas air pas di lehernya. Meskipun diperuntukkan bagi anak-anak, tapi banyak orang tua yang juga berendam di kolam kecil ini. Mereka ini seperti kami juga, datang dengan membawa anak-anak. Jadi sekalian berendam sekalian mengawasi anak yang bermain air.



Pemandian Way Belerang ini berada di kaki gunung Rajabasa. Air hangat berbau belerang ini keluar sebagai mata air yang lalu dijadikan kolam oleh pemerintah daerah setempat. Jadi sumber airnya memang berada di dalam kolam itu dan selama ini tak pernah berhenti. Airnya yang berlebih, dialirkan melalui saluran pembuangan yang berada di sekitar kolam. Selain 2 kolam itu, ada juga satu buah kolam kecil yang sepertinya mata airnya baru muncul. 


Oiya, di sekitar kolam ternyata juga ada yang menjajakan belerang kering berbentuk kotak-kotak kecil itu. Dan harganya ternyata 5ribu rupiah untuk 5 bungkus. Hihi. Jadi besok-besok kalau ke sini lagi mendingan beli ketika sudah di sekitar kolam saja.

Ada juga warga sekitar yang menawarkan kelapa muda. Mereka berjualan di sekitar tempat parkir, nanti kelapa mudanya diantarkan ke kolam. Harganya 4ribu rupiah per butir. Cukup murah. Karena di sekitar rumah kami di Kemiling saja, harga kelapa muda yang paling murah 5ribu per butir.

Saya selalu teringat sebuah pesan yang pernah saya baca entah di mana. Ketika berada di tempat wisata, sebisa mungkin belilah barang dagangan dari warga sekitar. Tak perlu banyak, belis edikit pun jadi. Hal itu agar masyarakat sekitar tidak merasa 'ditinggalkan' oleh arus pariwisata yang bergerak di sekitar mereka sementara mereka tak bisa menikmatinya. Kira-kira begitu sih. Dengan catatan asal harganya masuk akal yaa..

Matahari di langit sepertinya sedang terik-teriknya bersinar dan sepertinya kami datang di waktu yang kurang pas karena panasnya terasa sekali menyengat kepala dan kulit. Tapi anak-anak tak peduli, mereka bermain dengan gembira. Hanya Hoshi yang tak mau masuk ke dalam kolam karena menurut dia terlalu panas. Suhu air di koman memang terasa agak panas ketika baru pertama kali tersentuh. Tapi menjadi biasa ketika sudah berendam di dalamnya. Kalau datang di pagi atau malam hari, mungkin rasanya akan nikmat sekali berendam di sini.

Sarana untuk mandi, bilas dan membersihkan badan setelah berendam cukup memadai. Letaknya di dekat kolam yang besar. Airnya bersih dan sejuk, sangat berbeda dengan air di kolam yang hangat dan beraroma belerang. Dan sudah terpisah antara laki-laki dengan wanita. Ada banyak kamar-kamar kecil yang bisa digunakan untuk berganti pakaian. Tempatnya juga relatif bersih. Juga tersedia beberapa shower yang berjajar di bagian lain untuk mandi. Dan asyiknya fasilitas kamar mandi ini bisa digunakan secara gratis. Walaupun kalau dipungut bayaran pun mungkin hanya seribu atau dua ribu rupiah, tapi kalau gratis memang rasanya menyenangkan. :D

Setelah bersih-bersih dan berganti pakaian, anak-anak asyik bermain di sekitar tempat parkir. Ada beberapa mainan anak yang tersedia di situ. Ada ayunan, jungkat jungkit dan perosotan juga. 

Oiya, jika ingin bermalam, di dekat pintu masuk Pemandian Way Belerang ini sekarang ada Wisma Belerang. Katanya di dalamnya juga terdapat kolam-kolam air hangat. Sepertinya seru sih menginap di situ.


Buka Lapak di PKOR

Sejak beberapa bulan yang lalu, ada aktivitas rutin yang selalu kami lakukan setiap hari minggu pagi, tentu saja jika kami sedang tidak pulang ke rumah Mbah H2 di Penengahan. Jadi sekarang, setiap minggu pagi kami menemani Ummiyo berjualan di PKOR Way Halim.

Awalnya hanya iseng saja. Ummiyo kan memang sudah berjualan macem-macem tuh secara online lewat Facebook dan BBM. Kebanyakan sih pake sistem dropship. Jadi nggak punya stok barang di rumah. Nah terakhir kemaren si Ummiyo mulai nambah barang dagangan. Kalau sebelumnya hanya tas-tas dan jam tangan, sekarang bertambah dengan wallsticker. Dan karena harga modalnya masih terjangkau, jadilah si Ummiyo berani narok stok di rumah. Ini juga sebenarnya karena sistem range harga yang ditetapkan oleh suppliernya sih. Jadi dengan pembelian yang semakin banyak akan mendapatkan harga satuan yang semakin murah. Ya sudah mulailah belanja wallsticker dalam jumlah yang lumayan banyak.

Nah stok wallsticker inilah yang akhirnya mencetuskan ide untuk berjualan di PKOR setiap minggu pagi. Seperti saya bilang sebelumnya, awalnya iseng saja sih. Sekalian bawa anak-anak jalan-jalan pagi, tak ada salahnya sekalian buka lapak. Toh gratis dan nggak ada biaya sewa lapak atau pungutan lain-lain di sana. Jadi, Ummiyo berjualan sementara saya mengikuti para balita ke sana kemari, jajan ini itu menghabiskan keuntungan yang didapat Ummiyo dari hasil jualannya. :D

Hari minggu tanggal 27 Oktober 2013 adalah hari pertama Ummiyo buka lapak. Pada hari itu, di PKOR pas kebetulan sedang ada acara Fun Bike yang diselenggarakan oleh Indomaret. Jadi pengunjung membludak. jauh lebih ramai dibandingkan hari minggu yang biasa. Ini tentu saja menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang yang berjualan di PKOR. Karena jumlah calon pembeli potensial tentu menjadi semakin banyak. Dan alhamdulillah dagangan wallsticker Ummiyo cukup banyak yang laku.

Kegiatan ini akhirnya menjadi rutinitas kami setiap hari minggu pagi. Awalnya memang cuma wallsticker yang dijual. Tapi seiring waktu, barang dagangannya pun berubah-ubah juga. Pernah juga sekali membawa stok baju koko dan gamis anak-anak yang merupakan barang jualan menjelang lebaran. Pernah juga buka lapak bareng dengan Ibu Keke yang juga berjualan pakaian. Trus yang terakhir, si Ummiyo sedang semangat menjual martabak manis mini karena stok wallsticker-nya tinggal sedikit.

Seru sih, walaupun saya tak banyak membantu karena sibuk mengawasi dan mengikuti para balita. Tapi kami melalui prosesnya bersama-sama. Berkenalan dengan banyak orang baru yang berjualan macam-macam barang, yang sering kali terlihat sepele tapi ternyata omset dan keuntungannya lumayan. Merasakan barang dagangan tak laku karena ada pedagang grosir yang ikut berjualan, lalu kemudian malah jadi salah satu tempat kami mengambil dagangan. :)


Sejak pagi-pagi sudah harus mempersiapkan barang dagangan dan perlengkapannya. Juga harus mengalami 'perebutan' lahan di tempat jualan, karena memang di sana yang berlaku adalah sistem "siapa cepat, dia yang dapat". Jadi semakin pagi datang ke lokasi, semakin banyak pilihan tempat yang masih tersedia. Sebaliknya jika datang menjelang siang -di atas pukul delapan pagi- bisa dipastikan akan kesulitan mendapat tempat karena sudah penuh.

Repotnya, kami masih tergantung dengan jam tidurnya anak-anak. Mereka itu, walaupun tidur malamnya cepat, tapi bangun paginya tetap tak bisa diprediksi. Kadang subuh sudah bangun, kadang jam 8 pagi masih pulas tertidur. Kalau sudah begitu, ya sudah tentu berangkatnya juga siang. Alhamdulillah sih selama ini selalu dapat tempat walaupun kadang harus berputar dulu mencari-cari. Ummiyo pernah ngobrol-ngobrol dengan beberapa pedagang yang kebetulan lapaknya berada di dekat kami, banyak di antara mereka yang datang pagi-pagi sekali sebelum pukul enam pagi demi mendapatkan tempat yang menurut mereka strategis.

Musim penghujan yang mulai datang ternyata menjadi salah satu kendala juga bagi para pedagang, termasuk kami. Hujan bisa datang mendadak kapan saja tanpa peringatan. Pernah pada suatu minggu pagi, martabak manis sudah terlanjur dibuat dalam jumlah yang cukup banyak. Dan kemudian hujan turun pada saat kami bersiap-siap hendak berangkat. Tapi tetap berangkat juga sambil berharap hujannya reda begitu kami sampai di sana. Ternyata gerimis tak kunjung berhenti. Dagangan laku tapi tak habis. Alhamdulillah masih balik modal. Bukannya tak bersyukur dengan hujan yang turun, bukan. Tapi rasanya ada yang mengganjal di hati melihat jumlah penjual yang lebih banyak daripada pembelinya. Melihat wajah-wajah pemilik lapak yang -walaupun masih bisa bercanda dengan tetangga sebelahnya- tapi tetap saja menyiratkan harapan agar pembeli berdatangan seperti hari biasa.

Padahal kami melakukan aktivitas ini hanya dalam rangka iseng-iseng mengisi waktu minggu pagi. Tapi rasanya sedih juga melihat dagangan tak habis. Jadi berpikir bagaimana ya rasanya untuk mereka yang memang menjadikan ini sebagai mata pencaharian, mereka yang memang mencari nafkah dari berjualan di sini? Pasti sedihnya berkali-kali lipat dari yang kami rasakan ya.. :(

Oiya beberapa kali juga melihat anak-anak usia SD yang berjualan di sana. Ada orang tuanya juga sih, tapi hanya mengawasi saja (dan kemungkinan memodali juga, hihi).  Yang dijual adalah es teh manis. Ada juga di hari yang lain anak-anak yang berjualan telur asin, dengan orang tuanya juga. Jadi betul-betul anaknya yang berjualan dan melayani pembeli, sementara orang tuanya asik berduaan di dalam mobil. Ini menarik menurut saya karena mengajarkan anak untuk berwiraswasta sejak dini. Kalau dilihat dari mobilnya sih mereka bukan dari kelompok menengah ke bawah. Dan nggak mungkin sengaja berjualan es teh manis untuk mencari nafkah. Jadi saya yakin itu dilakukan dalam rangka pengajaran kepada anak mereka. Menarik. Mungkin nanti kami akan melakukannya juga jika Hikari dan Hoshi sudah seusia itu.