Selasa, 24 Januari 2012

H2 dan Betadine

*
Beberapa hari yang lalu, Hoshi jatuh di depan rumah saat sedang bermain dengan kakaknya. Kata umminya, dia jatuh di sekitar parit di pojokan depan, dekat pohon mangga kami yang tak kunjung berbuah itu. Kejadiannya di hari kerja, saya baru mengetahuinya saat tiba di rumah sore harinya.

Lukanya memanjang tepat di atas kelopak mata kirinya. Kata umminya jatuhnya terbentur pinggiran parit. Ah. Saya tak berani membayangkan. Ngilu rasanya memandangi luka yang berwarna coklat Betadine itu. Dia tertidur dengan gelisah sore itu. Pasti sakit sekali. Pasti menangis keras sekali. Pasti keluar darah banyak sekali.

Tapi Hoshi memang selalu kuat dan tabah. Gelisahnya hanya sampai malam itu saja. Esok harinya sudah bermain seperti biasa. Umminya berpesan supaya dia tidak menggaruk atau memegang lukanya. Dan dia memang tidak pernah menyinggung luka itu sama sekali. 

Sekarang sudah mengering, menyisakan warna merah muda di bekas lukanya itu. Sepertinya sih tidak akan terbawa sampai dia besar nanti karena bekasnya tipis saja dan mudah-mudahan segera menghilang. Semoga saja.


**
Hari minggu yang lalu, sore hari, Hikari mendadak terjaga dari tidur siangnya dan berjalan terpincang-pincang ke arah saya yang sedang duduk di ruangan depan. Kenapa Nak? Saya periksa sambil menggendongnya masuk kembali ke dalam kamar.

Ada luka di telapak kakinya. Di ujung telapak kakinya, dekat dengan jari-jari. Luka sejak kapan ini? Kami lalu mengingat-ingat kembali kejadian seharian tadi sejak pagi hingga dia tertidur. 

Sarapan bubur ayam di sebelah rumah sakit zainab. Tidak mungkin karena Hikari selalu di pangkuan saya. Lalu ke mal Pekanbaru. Di sini juga tidak mungkin karena lantainya relatif bersih kan dari benda-benda tajam. Dan juga kalau terluka di situ, mestinya langsung ketauan dari darahnya di lantai.

Jangan-jangan saat umminya membeli arem-arem di samping pagar Bank Indonesia? Ah iya. Saat umminya turun kan Hikari ikut turun dari mobil dan sendalnya tidak dipakai. Atau justru setelah sampai di rumah? Saat oom guru ngaji di mushola nganter undangan kawinan tetangga belakang, Hikari berlari-lari mengikuti saya membukakan pintu pagar. Dan dia tidak memakai sendalnya.

Luka itu tidak dalam nampaknya. Tapi agak sulit dipastikan juga karena Hikari selalu berontak menendang-nendangkan kakinya saat kami periksa. Lukanya memanjang mengikuti arah jarinya. Di salah satu ujungnya terlihat lebih gelap warnanya. Awalnya kami mengira itu darah yang mengental. Dan karena tangisannya makin menjadi, kami sudahi dulu pemeriksaan dengan mengoleskan betadine di lukanya.

Tapi warna kehitaman di ujung lukanya itu jadi pikiran. Jangan-jangan bukan darah yang menghitam tapi sesuatu yang tertinggal di situ. Mungkin duri atau serpihan kayu atau bahkan kaca? Jadi kepikiran karena Hikari menjerit-jerit kesakitan setiap kali umminya menyentuh bagian itu.

Hikari tidak pernah suka Betadine. Diolesi obat luka itu saja bisa membuatnya menangis seolah-olah sakit bukan kepalang. Drama lah pokoknya. Dan dengan memanfaatkan ketidaksukaannya itu saya berhasil membujuknya ke kamar mandi untuk mencuci lukanya.

Ternyata memang bukan darah yang menghitam, tapi serpihan kayu. Aduh Nak, ini pasti sakit sekali ya? Setengah tidak tega saya berusaha mencabut kayu itu dengan jari. Tidak mudah karena posisi kamis edemikian rupa dan masih harus menahan badannya yang meronta-ronta. Perlu beberapa kali -dan saya tau pasti menyakitkan- sampai akhirnya saya berhasil mencabut kayu tersebut. Lumayan panjang, mungkin setengah senti.

Setelah itu Hikari terbaring lemah di pelukan umminya. Alhamdulillah.


***
Hikari tidak pernah menyukai Betadine. Ada ketakutan di matanya setiap kali dia terluka dan kami akan mengoleskan obat itu ke lukanya. Perih kah? Sepertinya tidak. Atau dia tidak menyukai warnanya yang coklat gelap itu? Entahlah.

Sesekali saya iseng menakutinya dengan pura-pura akan mengoleskan betadine ke tangan atau kakinya. Yang biasanya berakhir dengan Hikari menjerit dan saya dimarahi umminya. Ahahaha.

Tapi lain Hikari, lain pula Hoshi. Dia sangat-sangat menyukai Betadine.

Jika kakaknya terluka dan diberi betadine, Hoshi akan meminta perlakuan yang sama. Dia akan memasang wajah memelas lalu memandang kami sambil menunjuk kaki atau tangannya (tergantung di mana luka kakaknya). Meminta kami mengoleskan betadine seperti kami mengoleskan pada kakaknya.

Untuk Hoshi, ini adalah semacam permainan yang menarik. Tidak akan cukup sekali. Setelah dioleskan, dia akan menunjuk ke arah tissu, meminta diambilkan. Lalu tissu tersebut akan dipakainya untuk mengelap betadine yang baru saja dioleskan di kulitnya. Dan setelah itu, ritual wajah memelas dan menunjuk kaki atau tangannya itu diulanginya lagi. 

Dioleskan lagi, dilapnya lagi. Begitu seterusnya sampai salah satu di antara kami bosan. Bisa dia duluan yang bosan karena melihat hal lain, bisa juga kami yang tak bisa melayaninya lagi karena harus mengerjakan hal lain. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar