Senin, 08 Oktober 2012

H2 Feat. Keke Trip Ke Pulau Tangkil

Begitu banyak pantai cantik yang ingin dikunjungi di Lampung. Setelah Krakatoa Nirwana Resort dan Banding Resort, hari minggu (08/10/12) kemarin kami ke Pantai Mutun yang dilanjutkan dengan menyeberang ke Pulau Tangkil.

Seperti biasa, perjalanannya diputuskan mendadak saja. Sabtu malam tiba-tiba tercetus ide "Ke Pantai Mutun yuk Istri, kata orang kantor pantainya bagus." Dan Ummi H2 langsung setuju. Eh tapi kami kan belum tau rute menuju lokasi, jadi gimana? Ajak Mbak Keke sekeluarga aja. Oiya. Langsung nelfon ayah Keke. Pas sekali mereka memang sedang tidak ada rencana di hari minggu. Maka jadi lah. Janjiannya ketemu di rumah Keke jam setengah delapan pagi. Oke.

Bisa sih sebenarnya pergi sendiri saja berbekal GPS di android yang terbukti akurat dan banyak membantu kami selama masa awal kami di sini. Tapi rasanya lebih seru kalau ramai-ramai kan.. :)

Pagi-pagi semuanya sudah bangun. Setelah bersiap seperlunya ini dan itu, yang ternyata cukup memakan banyak waktu, kami langsung berangkat ke rumah Keke. Sudah lewat dari setengah delapan, agak kencang bawa kendaraannya karena mikir sudah ditungguin.

Dan ternyata keluarga mbak Keke malah belum siap. Hihi. Ibunya sedang masak bekal untuk di makan di sana nanti. Hee, bawa bekal? Kami berpandangan. Karena memang tidak berpikir sampai situ. Jadi si Ummi hanya menyiapkan makanan-makanan ringan saja di dalam tas yang dibawanya, selain baju ganti tentu saja. Tidak terpikir bawa bekal nasi segala, karena yang terbayang hanya mandi sambil main-main di laut trus udah pulang. Haha.

Ya sudah akhirnya duduk manis minum teh botol dingin sambil nungguin Ibu Keke menyiapkan bekal untuk semua. Hikari dan Hoshi lari-lari dengan mbaknya seperti biasa. Ayah Keke memompa pelampung untuk anak-anak. Hikari dan Hoshi dapat pinjaman punya mbak Keke karena punya Hikari ketinggalan di rumah mbahnya dan punya Hoshi ternyata bocor.

Hampir pukul setengah sembilan saat semuanya akhirnya siap dan kami berangkat. Anak-anak senang. Hikari sibuk bercerita dengan Keke di depan. Hoshi asyik sendiri dengan pelampung berkepala buaya pinjaman dari mbak Kekenya.

Lokasinya ternyata lumayan jauh. Pantai Mutun ini sudah masuk di wilayah Kabupaten Pesawaran. Akses menuju ke sana lumayan mudah. Jalanan juga bagus. Kalau yang backpacker-an kayaknya juga nggak akan kesulitan karena ada angkutan kota (atau angkutan pedesaan ya?) yang melewati lokasi. Mobilnya pick-up model lama itu, yang penumpangnya naik dari bagian belakang dan tempat duduknya saling berhadapan. Oto Cigak Baruak kalo istilah minangnya, kata istri.

Sebelum sampai di Pantai Mutunnya, sepanjang jalan akan melewati lokasi pantai-pantai wisata yang lain. Ada banyak sih, tapi lupa apa-apa aja namanya. Hihi. . Ada komplek kuburan cina juga di perbukitan sebelah kanan. Melewati tempat pelelangan ikan, yang sayangnya hanya buka di sore hari. Dan setelah perjalanan sekitar 40 menitan, sampailah kami di tempat yang dituju.

Dari jalan utama, belok ke kiri sejauh 1km untuk menuju ke pintu masuk Mutun. Tapi di sepanjang jalan kok ada portal-portal dari batang bambu yang sepertinya dibikin oleh penduduk sekitar. Kami diberhentikan di salah satu portal, dikenai retribusi 5ribu rupiah. Ini resmi apa tidak ya? Tapi ada karcisnya juga sih. Ya sudah lah tak apa.

Di pintu masuk Mutun yang ternyata ramai, ada pos-pos kecil seperti kalau kita masuk ke tempat parkir di mal gitu. Menurut ayah Keke yang sudah pernah ke sini sih retribusinya dihitung per mobil sebesar 30ribu rupiah. Tapi ternyata lain dulu lain sekarang. Tarifnya dihitung per orang dan per mobil. Satu orang 5ribu rupiah, anak-anak tak dihitung. Satu mobil 30ribu rupiah. Tapi ada print-out tiketnya sih, jadi kayaknya memang resmi segitu tarifnya.

Ternyata sudah ramai. Anak-anak bersorak di dalam mobil, tak sabar ingin segera turun sementara kami berputar mencari tempat parkir yang kosong. Mesti berbalik satu kali karena parkiran penuh. Kami mengamati sekitar sambil mencari tempat yang kosong. Di sepanjang pantai terdapat pondok-pondok dari bambu yang bisa disewa untuk duduk-duduk dan meletakkan barang bawaan. Agak jauh ke belakang garis pantai, berjejer pondok-pondok kecil yang menjual souvenir dan makanan. Kaos-kaos bertuliskan I LOVE LAMPUNG dan I LOVE MUTUN yang paling banyak terlihat. Ingin beli sih, tapi kata ayah Keke harganya mahal.

Begitu turun dari mobil, Hoshi langsung menarik-narik tangan dengan tidak sabar. Seorang ibu langsung menawari kami untuk menyeberang ke Pulau Tangkil yang letaknya tak jauh dari pantai. Tarifnya 10ribu rupiah per orang dewasa (anak-anak tak dihitung), pergi dan pulang dengan perahu motor. Pulangnya terserah jam berapa aja, nanti tinggal telpon aja dan akan dijemput.



Rasanya pantai sudah terlalu ramai, saya tergoda untuk menyeberang. Ayah dan Ibu Keke bilang terserah, ngikut aja. Si Ummi bimbang karena gentar melihat perahu motor yang besarnya tak seberapa. Padahal ombaknya kecil saja, dan jarak pulaunya juga dekat. Waktu tempuhnya tak sampai 10 menit. Tapi wajar sih, si Ummi tumbuh dan besar di lingkungan yang jauh dari laut. Seumur-umur katanya baru 2 kali naik kapal, saat masih kecil dan jaman kuliah dulu. Itu pun kapal besar penyeberangan Bakauheni-Merak.

Hoshi terus menarik-narik saya sambil merengek mengajak bermain air. Akhirnya si Ummi setuju setelah diyakinkan ombaknya tidak besar dan perahunya juga dilengkapi dengan "sayap" di kanan dan di kiri, jadi tak akan terlalu oleng selama penyeberangan.

Bersama kami di dalam perahu ada satu keluarga lain yang ikut menyeberang. Pasangan muda dengan 2 orang anak yang usianya sebaya dengan Keke dan seorang perempuan yang sudah berumur, kemungkinan besar adalah neneknya. Perahu kecil melaju dengan kecepatan sedang mengarungi selat antara Pantai Mutun dengan Pulau Tangkil. Permukaan air yang bersih dan bening berada dalam jangkauan tangan, sejuk terasa di tangan. Anak-anak riang gembira menikmati angin laut yang bertipu semilir menerpa wajah. Ummi ternyata beneran kuatir, mengeluh pusing karena perahu yang naik turun dimainkan gelombang.

Memang tak sampai 10 menit, kami mendarat di Pulau Tangkil yang tenang. Udara sejuk dengan langit yang berawan, tak terasa sengatan matahari walaupun hari telah beranjak siang. Abang pemilik perahunya bertanya apakah sudah mencatat nomor hapenya (yang dijawab sudah oleh kami semua) dan berpesan untuk menelepon nanti jika akan kembali ke Pantai Mutun. Bayarnya nanti saja saat pulang. Oke, abangnya ternyata baik. Secara tidak langsung dia memberi jaminan bahwa dia pasti akan menjemput kami.

Pantai di Pulau Tangkil nampak jauh lebih bersih daripada di Pantai Mutun. Lebih landai dan lebih jernih. Saya langsung menuruti Hoshi yang tak sabar ingin nyemplung dengan pelampung buayanya. Hikari dan Keke bergabung dengan kami sementara Ummi dan Ayah Ibu Keke mencari pondokan untuk istirahat dan meletakkan bawaan. Oiya, ternyata di Pulau Tangkil ini ada retribusi lagi sebesar 3ribu rupiah per orang dewasa.

Saya terpesona dengan pantainya yang benar-benar cantik. Pasirnya putih bersih dan belum kotor oleh sampah. Entah karena selalu dibersihkan atau memang pengunjungnya punya kesadaran yang tinggi untuk menjaga kebersihan. Pantainya landai dan mempunyai air yang jernih. Sambil berdiri memandang ke bawah saja kita bisa melihat kelompok ikan-ikan kecil berenang ke sana ke mari.

Ayah Keke bergabung dengan kami tak lama kemudian. Sambil mengawasi anak-anak bermain dia bercerita ttg sewa pondok bambu yang ternyata lumayan mahal. 70ribu rupiah untuk satu pondokan. Kami berbagi dengan keluarga yang tadi sama-sama menyeberang karena memang pondoknya lumayan besar. Toh hanya dipakai untuk meletakkan barang bawaan saja. :)

Ibu Keke tak ikut main air karena bermasalah dengan gendang telinganya. Ummi H2 juga melihat saja dari batas sapuan air. Sesekali mengambil foto dan merekam dengan hapenya.

Di Pulau Tangkil ada juga permainan Banana Boat dan Perahu Kano yang bisa disewa. Tarif Banana Boat-nya 125ribu rupiah sekali jalan untuk 5 orang. Sepertinya seru. Saya yang belum pernah mencoba jadi senang memperhatikan orang-orang yang menaikinya.

Jadi ya untuk yang belum pernah naik Banana Boat seperti saya, permainan ini menggunakan semacam pelampung raksasa berbentuk pisang berwarna kuning. Orang-orang duduk di atasnya berpegangan pada tali yang ada di pelampung raksasa itu. Lalu pelampung tadi akan ditarik dengan speedboat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pantai. Lalu penumpangnya akan ditenggelamkan di lautan yang berisi hiu. Ahaha. Nggak ding. Dari lautan sana, speedboat-nya kembali lagi ke arah pantai tetap dengan kecepatan tinggi. Arah laju speedboat-nya lurus, lalu tiba-tiba membelok dengan ekstrim begitu mendekati pantai sehingga penumpangnya pun berjatuhan ke air. Tenggelam? Nggak lah, kan pakai rompi pelampung. Lagian jatuhnya juga udah di pantai. Pengen juga. Tapi anak-anak pasti nggak mau ditinggal.

Anak-anak tak bosan-bosannya bermain, padahal ujung-ujung jari sudah mengkerut keriput. Bisa jadi karena terlalu antusias. Hikari dan Hoshi sudah berkali-kali sih pergi ke pantai. Tapi yang benar-benar nyemplung mandi dari kepala sampai kaki ya baru kal ini. Ibu Keke memanggil dari tepian mengajak anak-anak makan. Mulanya tak mau. tapi setelah dijanjikan nanti main lagi setelah makan, mereka bertiga pun makan dengan lahap di pondokan. Nikmat sekali, makan di pantai setelah main air.

Selepas makan, istirahat sebentar. Trus lanjut main air lagi! Haha. Ibu Keke sementara itu duduk di pondok aja, berbincang dengan Nenek rombongan kami yang juga ternyata hanya duduk saja di situ. Ummi H2 nampak berjalan keliling, lalu berhenti di salah satu pondok berbincang dengan seorang ibu yang sedang asik merajut. Sepertinya Ummi H2 tertarik merajut.

Keke sesekali bermain agak ke tengah bersama ayahnya. Hikari sesekali keluar dari air dan sibuk bermain pasir di tepian, lalu berteriak-teriak histeris jika ombak datang dan pasirnya disapu air. Hoshi yang baru sekali mandi di laut sangat terganggu dengan rasa asin airnya. Berkali-kali dia berusaha mengelap air yang mengenai mulutnya dengan tangan, yang tentu saja akan menambah rasa asin karena tangannya pun juga basah. :D

Hari semakin tinggi. Tapi tak terasa panasnya karena awan masih saja bertahan menutupi matahari. Jari-jari tangan anak-anak itu makin keriput. Yak, udahan yuuk! Ummi H2 dan Ibu Keke berteriak memanggil menyuruh keluar dari air dan bersih-bersih.

Tempat untuk bilas dan bersih-bersih terletak di belakang pondok-pondok bambu, sekitar 50 meter lah jauhnya. Terdiri dari banyak kamar mandi berukuran 2x2 meter. Saya tidak menghitung, tapi sepertinya ada 20 kamar mandi yang terbagi 2 bagian untuk laki-laki dan perempuan. 

Sayang sekali, tempat bilasnya ini kurang memadai. Kamar mandinya tidak mempunyai kunci, setidaknya ini yang saya temui di bagian laki-laki. Jadi kalau hendak berganti baju, harus ada yang berjaga di luar. Lalu di kamar mandinya juga tidak ada lampu. Dan yang terakhir, di tempat ini dikenakan tarif 2ribu rupiah per orang. Yaa walaupun tak seberapa, tapi alangkah menyenangkannya kalau fasilitas seperti ini disediakan gratis untuk pengunjung. Kan?

Oke, semuanya sudah bersih dan segar. Waktunya bersantai sebentar sebelum pulang. Sempatkan dulu foto-foto di pantai. Hikari sibuk mengumpulkan kerang. 



Ternyata keluarga yang bersama kami juga sudah siap berkemas, kebetulan sekali. Mereka setuju saat kami mengajak kembali ke Pantai Mutun lagi. Suaminya yang akhirnya menelepon Abang pemilik perahu yang mengantar kami tadi. Perahunya datang tak lama setelah ditelepon. Kami pun pulang dengan gembira. Mungkin nanti suatu saat kami akan datang lagi. :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar