Kamis, 10 Juni 2010

Nikmat Lidah

Pernah dengar bahwa semakin tua usia kita, semakin banyak nikmat Tuhan yang diambil dari kita? Yang paling terasa tentu saja ingatan. Tapi mungkin saja ada nikmat lain yang telah diambil perlahan-lahan dan kita tidak menyadarinya.


Suatu kali dalam rangka tugas, saya mengunjungi rumah seseorang bersama ketua tim dan supervisor saya. Singkat cerita, di depan rumah orang tersebut ada pohon salam. Teman tau pohon salam kan? Itu lho, yang daunnya sering dipake untuk masak atau bikin nasi uduk atau bubur sumsum. Nah, pada saat itu pohon salam itu sedang berbuah. Buahnya kecil-kecil, hanya sedikit lebih besar dari butiran lada. Berwarna merah darah jika sudah masak.


Kenangan masa kecil saya tentang buah salam langsung muncul. Dulu saya sering berebut memanjat pohon salam di hutan bersama teman-teman dan memakannya dengan kenikmatan yang luar biasa. Dan itu adalah perjumpaan saya yang pertama kali dengan buah salam setelah sekian lama. Maka saya pun meminta kepada yang punya rumah. Ketua tim dan supervisor saya terheran-heran, tapi saya cuek saja dan langsung memakannya. Sama sekali tidak enak. Lebih banyak rasa kelat, sepat dan pahit daripada manisnya. Ini aneh. Karena bukan seperti ini rasa yang diingat oleh lidah saya.

Suatu hari yang lain, tetangga kami mengantarkan beberapa bungkusan kecil dari daun pisang. Ternyata isinya nasi bancakan. Surprise sekali. Ini juga makanan dari masa kecil saya. Biasanya nasi bancakan ini didapat dari acara sukuran yang dihadiri oleh anak-anak. Kalau kenduri adalah acara mendoa yang diadakan oleh orang dewasa, maka bancakan ini adalah versi anak kecilnya. Bancakan diadakan untuk bermacam-macam acara; naik kelas, baru sembuh dari sakit, khatam quran, peringatan weton (semacam ulang tahun tapi perhitungannya dengan kalender jawa), bayi baru bisa jalan, dll.

Anak-anak berkumpul dengan semangat. Penuh gairah dan kegembiraan. Setelah sepatah dua patah kata sambutan dari orang tua yang di-bancaki (yang akan kami sahuti dengan “nggih-nggih”), lalu ada doa singkat (yang biasanya tidak terlalu kami  pedulikan dan sekedar amin-amin saja), dan setelahnya pembagian bancakan yang ditunggu-tunggu.


Isinya adalah nasi yang dicampur dengan beberapa lauk pauk sederhana. Biasanya mihun goreng (sedikit), kerupuk merah (sedikit), urap/gudangan (sedikit) dan tak lupa telur rebus yang dibagi 4 (Atau mungkin 8? Saya tak ingat dengan pasti, hanya saja telur itu sedemikian kecil potongannya bahkan untuk ukuran anak-anak. Kadang-kadang kalo sedang apes, hanya dapat putihnya saja, kunging telurnya tak ada.). Lalu semuanya dibungkus sedemikian rupa dengan daun pisang.

Memang semuanya serba sedikit. Tapi rasanya nikmat sekali. Saat menyuapkannya rasanya tak rela banyak-banyak. Inginnya sedikit demi sedikit agar tak cepat habis. Daun pisang pembungkusnya sampai licin tak berbekas sama sekali.

Nasi bancakan hantaran dari tetangga saya pun ukurannya kecil saja. Isinya pun nyaris sama. Yang berbeda hanyalah ukuran telur yang jauh lebih besar (separuh) dan ada tambahan oseng-oseng tempe. Saya menaruh harapan besar saat melihatnya. Sepertinya enak. Dan memang enak. Tapi enak yang biasa saja. Tak ada sensasi kebahagiaan seperti yang saya ingat saat menikmati nasi bancakan di masa kecil dulu.

Saya tersadar bahwa mungkin lidah saya sudah mulai kehilangan kemampuan untuk menikmati makanan. Ini kah salah satu nikmat dari Tuhan yang telah diambil perlahan-lahan dari saya? Atau ini hanya karena saya kurang mensyukuri apa yang ada?

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar