Subuh yang dingin setahun yang lalu. Istri membangunkan saya dengan panik. Ada cairan yang merembes seperti pipis tapi tak mau berhenti. Ini kehamilan pertama, usianya baru 8 bulan 3 hari menurut hitungan dokter Imelda. “Nggak pa-pa, ntar kita tanya mama,” kata saya sok tau, berusaha menenangkan. Lalu kami pun sholat. Ternyata alirannya tidak juga berhenti, malah semakin banyak. Seusai sholat langsung telepon mama. Telepon rumah tak diangkat. Dihubungi ke Hp pun tak ada yang menjawab. Mungkin seisi rumah belum pulang dari masjid.
Rembesan itu semakin banyak dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Di awal kehamilan memang pernah ditemui flek karena kecapekan setelah menghadiri pesta pernikahan teman yang lokasi pestanya jauh sekali. Sudah waktunya si jabang bayi lahir? Bulannya belum cukup, pikir kami.
Istri lalu menelepon bunda si Dimas, temannya sejak masa kuliah. Dan jawabannya mengejutkan. Air ketuban. Haa? Bunda si Dimas buru-buru menambahkan untuk tidak panik. Langsung ke rumah sakit aja, jangan ngebut, pesannya di akhir telepon.
Saya segera mengeluarkan sepeda motor, kami bersiap seadanya. Sesaat sebelum berangkat, Mama menelepon. Ternyata memang air ketuban. Mertua saya adalah bidan, jadi tak diragukan lagi diagnosanya.
-Banyak airnya?
+Banyak.
-Ya udah, langsung ke rumah mama aja, kita ke rumah sakit. Bawa kain yang banyak.
+Adanya cuman sarung.
-Sarung jadilah. Jangan lupa kartu askesnya.
Dalam dinginnya udara subuh kami berboncengan ke rumah mama. Sepanjang perjalanan itu air ketuban terus merembes. Dan sesampainya di rumah mama, istri sudah basah kuyup di bagian bawah tubuhnya. Ternyata mama sudah siap di belakang kemudi. Sudah mengenakan seragam lengkap. Mama adalah bidan yang juga merupakan PNS di dinas kesehatan yang bertugas di RSUD Arifin Ahmad.
Hampir pukul 6 pagi saat kami sampai di RSUD. Setelah melalui proses pendaftaran (sambil tak lupa menyertakan kartu askes) yang memakan waktu beberapa menit, istri masuk IGD. Ternyata sudah mulai pembukaan 1. Sebentar di IGD, langsung dibawa ke ruang observasi untuk diambil tindakan. Air ketuban masih mengalir walaupun tak sederas sebelumnya, mungkin karena sudah terlalu banyak keluar atau mungkin karena istri dalam posisi tidur dan tak boleh banyak bergerak. Mama memprediksi sang bayi akan lahir tak lama lagi, meskipun usia kehamilannya belum genap 9 bulan.
Saya menelepon ke Lampung, mengabari orang tua saya kalau cucu mereka diperkirakan akan lahir hari ini. Ibu dan bapak saya terkejut.
Mama meninggalkan kami berdua untuk absen dan bertugas di ruangannya. Kami pun jadi seperti orang linglung berdua di ruangan yang sepi itu. Tanpa pengalaman dan tanpa penjelasan. Perawat hanya berjaga di ‘pos’ mereka di ujung lorong, dekat pintu masuk. Mereka hanya datang sekali-sekali mengecek keadaan istri dan lalu pergi lagi. Istri mulai merasakan sakit sesekali. Dan jadi sering merasa ingin pipis. Ini menyusahkan. Karena istri tidak boleh banyak bergerak dan sebisa mungkin tetap dalam posisi tidur. Akhirnya diajari untuk pipis dengan posisi tidur menggunakan semacam tempat yang terbuat dari logam mengkilat (mungkin stainless steel) yang bentuknya sedemikian rupa. Repot.
Pukul sepuluh sudah pembukaan 5. Mama datang membawakan lontong sayur untuk kami. Istri makan dengan lahap sementara saya tidak berselera sama sekali. Dokter Imelda datang dan melakukan diagnosa. Dia mengatakan akan berusaha ‘menahan’ si bayi agar tidak lahir di hari itu. Kalau memungkinkan ditunggu satu minggu lagi. Lalu istri diberi obat melalui suntikan.
Saya menelepon mas Ris, mengabari kalau saya tidak masuk hari ini karena menemani istri yang akan melahirkan di rumah sakit. Ketua tim saya itu terkejut.
Ternyata suntikan ‘penahan’ dari dokter Imelda tidak bereaksi. Lewat dari waktu dhuhur, istri mulai kontraksi. "Sakit," katanya. Semakin lama intensitasnya semakin sering. Saya tak berdaya memandangi wajah istri yang berkerut dan meringis menahan sakit. Hanya bisa mengelus2 saja berusaha menenangkan walaupun saya tau itu tidak berpengaruh sama sekali.
Pukul 4 sore, mama memberitahu perawat yang berjaga untuk menelpon dokter Imelda karena kontraksinya semakin rapat dengan rasa sakit yang mungkin tidak akan mampu saya tahan.
Hampir satu jam kemudian dokter Imelda datang dengan terengah-engah. Lift macet, katanya. Dia berlari-lari menaiki tangga ke ruangan kami di lantai 3 itu. Persiapan dilakukan. Dokter Imelda mengenakan sepatu bot karet, sarung tangan dan semacam celemek dari bahan karet juga. Saya teringat tukang daging di pasar pagi arengka.
Rupanya sang bayi memang menunggu dokternya. Tak perlu waktu lama, hanya dengan dua kali dorongan, anak gadis kami meloncat keluar tepat dalam tangkapan dokter. Tangisnya keras. Matanya tertutup. Tangan mungilnya mengepal. Sepertinya dia kedinginan. Saya ingin langsung memeluknya, tapi dokter Imelda menyerahkannya kepada perawat untuk dibersihkan terlebih dahulu.
Saya mencium istri yang terkulai lemah dengan wajah lelah. Cantik.
Mungkin tangan saya bergetar saat menerima sang bayi yang terbungkus selimut dari tangan perawat yang tersenyum memberi selamat. Ah. Ini perasaan yang tidak bisa dituliskan. Azan dan iqomah dikumandangkan perlahan, berusaha agar terdengar indah di telinga kecilnya.
Selamat Ulang Tahun, Hikari sayang.
This innocence is brilliant, This moment is perfect
like this !
BalasHapuswah hikki, kamu ulang tahun yaa? selamat ya sayang. cium dari tante vio. semoga ntar dah besar bisa membahagiakan orang tua
BalasHapusnindi ; like that
BalasHapusmidsummer ; amiin.. makasih tante vio..