Umur Hoshi udah (atau baru?) sebulan lebih, tepatnya 44 hari. Mau cerita tentang kelahirannya sekarang aja deh. Soalnya si ummi udah protes, kelahiran Hikari diceritakan tapi Hoshi belum. Niatnya sih kepengen nulisnya ntar aja pas ulang tahun pertama Hoshi, biar sama kayak Hikari kemaren. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, takutnya ntar malah banyak detail yang terlupa karena udah terlalu lama, kayak cerita tentang Hikari itu.
Awal bulan Juli, mbah dari Lampung sudah datang. Sengaja datang cepat untuk membiasakan diri dengan Hikari. Soalnya seperti kita ketahui bersama, itu anak nggak mau dipegang sembarang orang. Jadi harapan kami, semakin lama mbahnya di sini mungkin Hikari akan terbiasa dengan mbahnya supaya terbantulah kami jika nanti adeknya sudah lahir.
Hoshi lahir tangal 14 Juli 2010. Sejak sekitar seminggu sebelumnya, istri udah ngeluh sakit perutnya. Bulannya memang udah cukup sih. Jadi akhirnya harap-harap cemas nungguin. Kain-kain dan perlengkapan yang diperlukan udah disiapkan, masukin dalam tas, jadi bisa langsung dibawa kalo sewaktu-waktu si bayi lahir. Tapi ternyata tanda-tandanya nggak juga bertambah. Cuma sakit-sakit begitu aja terus.
Tanggal 13 Juli 2010 akhirnya saya berhasil memaksa istri untuk check ke dokter Imelda. Berangkat sekitar jam 7 malam setelah magrib setelah pagi harinya mendaftar terlebih dahulu. Hikari tinggal di rumah bersama pengasuh dan mbahnya. Dapet nomer antrian 2. Dan pas sampai di sana cuma nunggu sebentar saja dan langsung giliran kami. Langsung cerita-cerita keluhannya sambil diperiksa. Semuanya baik dan normal. Tapi ternyata bukaannya udah 2cm, tapi nggak nambah-nambah. Trus ternyata berat si bayi udah 3.6kg. Padahal sebulan sebelumnya baru 2,6 kilo.
Awalnya dokter Imelda menyuruh kami kembali seminggu lagi untuk cek ulang. Tapi sesaat kemudian dia langsung berubah pikiran dan bilang "besok langsung ke rumah sakit deh, kita induksi aja" Istri langsung cemas dengar kata induksi, karena pernah dengar cerita teman-temannya yang di-induksi katanya sakitnya lebih luar biasa dibandingkan yang normal. Tapi dokter Imelda bilang nggak juga, sakitnya sama aja, cuma prosesnya aja yang meloncat lebih cepat jadi mungkin efek psikologis aja kalo terasa lebih sakit.
Pertimbangan dokter Imelda adalah berat si bayi yang sudah lebih dari 3 kilo. Padahal kelahiran pertama hanya 2.4 kg. Takutnya kalo ditunggu seminggu lagi bisa lebih dari 4 kilo, lalu si ibu akan kesulitan dan merasa seperti kelahiran pertama.
Pulang dari dokter Imelda, masih sempet-sempetnya mampir makan sate madura di simpang durian. Sudah tu mampir ke rumah mertua, memberitahukan hasil pemeriksaan tadi dan 'perintah' dokter Imelda untuk ke rumah sakit esok pagi. Istri sekali lagi mengadu pada mamanya tentang sakitnya melahirkan yang di-induksi versi teman-temannya. Dan komentar si mama ternyata sama dengan dokter Imelda. Sepertinya istri jadi lebih tenang. Dan setelah dipikir-pikir lagi, teman-temannya itu mengalaminya pada kelahiran anak pertama. Jadi mereka tidak punya pembanding rasa sakit yang normal dengan yang induksi. Istri jadi semakin tenang.
Rencana awalnya, pagi-pagi saya akan ke kantor untuk absen lalu antar istri ke rumah sakit. Tapi ternyata mertua datang menjemput, alhamdulillah perginya nggak jadi naek sepeda motor. Istri pergi duluan, saya mengurusi Hikari sebentar lalu menyusul ke rumah sakit. Ternyata udah di IGD. Diperiksa-periksa dsb. Setelah semua urusan administrasi beres (termasuk askes), langsung pergi ke ruang tindakan di gedung baru. di lantai 2. Sebenernya cukup jauh juga letaknya, tapi kami jalan kaki aja ke sana.
O iya, untuk administrasi ini saya bersyukur punya ibu mertua yang baik hati dan sayang menantu yang sudah mengurus segalanya jadi saya tak perlu bolak-balik dan cukup diam menemani istri. I Love You, Mom.
Awal bulan Juli, mbah dari Lampung sudah datang. Sengaja datang cepat untuk membiasakan diri dengan Hikari. Soalnya seperti kita ketahui bersama, itu anak nggak mau dipegang sembarang orang. Jadi harapan kami, semakin lama mbahnya di sini mungkin Hikari akan terbiasa dengan mbahnya supaya terbantulah kami jika nanti adeknya sudah lahir.
Hoshi lahir tangal 14 Juli 2010. Sejak sekitar seminggu sebelumnya, istri udah ngeluh sakit perutnya. Bulannya memang udah cukup sih. Jadi akhirnya harap-harap cemas nungguin. Kain-kain dan perlengkapan yang diperlukan udah disiapkan, masukin dalam tas, jadi bisa langsung dibawa kalo sewaktu-waktu si bayi lahir. Tapi ternyata tanda-tandanya nggak juga bertambah. Cuma sakit-sakit begitu aja terus.
Tanggal 13 Juli 2010 akhirnya saya berhasil memaksa istri untuk check ke dokter Imelda. Berangkat sekitar jam 7 malam setelah magrib setelah pagi harinya mendaftar terlebih dahulu. Hikari tinggal di rumah bersama pengasuh dan mbahnya. Dapet nomer antrian 2. Dan pas sampai di sana cuma nunggu sebentar saja dan langsung giliran kami. Langsung cerita-cerita keluhannya sambil diperiksa. Semuanya baik dan normal. Tapi ternyata bukaannya udah 2cm, tapi nggak nambah-nambah. Trus ternyata berat si bayi udah 3.6kg. Padahal sebulan sebelumnya baru 2,6 kilo.
Awalnya dokter Imelda menyuruh kami kembali seminggu lagi untuk cek ulang. Tapi sesaat kemudian dia langsung berubah pikiran dan bilang "besok langsung ke rumah sakit deh, kita induksi aja" Istri langsung cemas dengar kata induksi, karena pernah dengar cerita teman-temannya yang di-induksi katanya sakitnya lebih luar biasa dibandingkan yang normal. Tapi dokter Imelda bilang nggak juga, sakitnya sama aja, cuma prosesnya aja yang meloncat lebih cepat jadi mungkin efek psikologis aja kalo terasa lebih sakit.
Pertimbangan dokter Imelda adalah berat si bayi yang sudah lebih dari 3 kilo. Padahal kelahiran pertama hanya 2.4 kg. Takutnya kalo ditunggu seminggu lagi bisa lebih dari 4 kilo, lalu si ibu akan kesulitan dan merasa seperti kelahiran pertama.
Pulang dari dokter Imelda, masih sempet-sempetnya mampir makan sate madura di simpang durian. Sudah tu mampir ke rumah mertua, memberitahukan hasil pemeriksaan tadi dan 'perintah' dokter Imelda untuk ke rumah sakit esok pagi. Istri sekali lagi mengadu pada mamanya tentang sakitnya melahirkan yang di-induksi versi teman-temannya. Dan komentar si mama ternyata sama dengan dokter Imelda. Sepertinya istri jadi lebih tenang. Dan setelah dipikir-pikir lagi, teman-temannya itu mengalaminya pada kelahiran anak pertama. Jadi mereka tidak punya pembanding rasa sakit yang normal dengan yang induksi. Istri jadi semakin tenang.
Rencana awalnya, pagi-pagi saya akan ke kantor untuk absen lalu antar istri ke rumah sakit. Tapi ternyata mertua datang menjemput, alhamdulillah perginya nggak jadi naek sepeda motor. Istri pergi duluan, saya mengurusi Hikari sebentar lalu menyusul ke rumah sakit. Ternyata udah di IGD. Diperiksa-periksa dsb. Setelah semua urusan administrasi beres (termasuk askes), langsung pergi ke ruang tindakan di gedung baru. di lantai 2. Sebenernya cukup jauh juga letaknya, tapi kami jalan kaki aja ke sana.
O iya, untuk administrasi ini saya bersyukur punya ibu mertua yang baik hati dan sayang menantu yang sudah mengurus segalanya jadi saya tak perlu bolak-balik dan cukup diam menemani istri. I Love You, Mom.
Karena instruksi dokternya udah jelas dan semuanya juga udah OK pas diperiksa di IGD, perawat yang tugas di ruang tindakan langsung pasang infus untuk masukin induksinya. Di IGD tadi pergelangan kanan udah ditusuk untuk ngambil sampel darah, jadi perawatnya berusaha masukin infus lewat tangan kiri. Tapi berkali-kali dicoba nggak berhasil juga. Pembuluh darahnya nggak ketemu, sembunyi karena dagingnya terlalu banyak. Haha..Berat badan istri memang melonjak tak terkendali selama hamil. Total 2 kali hamil naik 35kilo. Jadi nggak heran kalo dia jadi nggak pede difoto. Akhirnya karena nggak ketemu juga, infusnya dipasanglah di pergelangan tangan kanan. Setelah infus terpasang, mama pergi sebentar. Katanya mau ke ruangannya dulu, nengok ada kerjaan (operasi) apa nggak.
Lumayan merepotkan juga mau melahirkan dengan infus di tangan kayak gitu. Istri kebelet pipis melulu. repot bolak-balik ke kamar mandi sambil nenteng-nenteng infus. Untung kamar mandinya ada di dalam ruangan itu juga, nggak jauh-jauh jalan. Kata perawatnya nggak boleh banyak bergerak, tiduran aja. Jadilah pipisnya pake pispot.
Tak lama, pengaruh obatnya mulai terasa. Sekitar jam 10-an, rasa sakit mulai datang sekali-sekali. Istri mulai mengeluh. Kata perawatnya tidurnya disuruh posisi miring sekali-sekali. Petugas datang membawa makanan untuk istri. Ada kue, puding dan teh manis. Belajar dari pengalaman melahirkan sebelumnya, istri pun makan dengan lahap walaupun katanya rasanya tak istimewa. Tapi lumayan untuk menambah energi, supaya tak lemas kehabisan tenaga seperti saat melahirkan Hikari dulu.
Saya agak ngantuk karena malamnya begadang mengurusi Hikari. Istri nyuruh tidur di ruangan sebelah yang terhubung langsung dgn ruangan ini dan memang kosong. Tapi saya bertahan. Kalo tidur sekarang, siapa yang nemenin istri? Mama datang kemudian. Mengecek ini dan itu, bertanya apakah sakitnya sudah sakit sekali atau masih sakit biasa, mengobrol sebentar dengan kami, lalu tertidur nyenyak di kamar sebelah. Membiarkan kami berdua, saya yang sudah mulai bisa mengusir kantuk dan istri yang semakin sering mengeluhkan sakitnya.
Tanggal 14, berarti lahirnya jam 14 aja lah. Istri berkata sambil nyengir menahan nyeri. Masih lama dong, pikir saya. Saat itu kira-kira jam 11 lewat beberapa menit. Kata istri, sakitnya semakin sering datang. Dan itu dibenarkan dengan raut mukanya yang semakin sering berkerut menahan sakit, mulutnya yang meringis sambil memejamkan mata, dan cengkeraman tangan kirinya yang semakin keras di tangan saya.
Perawat yang tugas jaga ternyata seorang bidan, dan sepertinya sudah punya jam terbang yang cukup. Terlihat dari caranya mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Persalinan dengan induksi ternyata memang prosesnya meloncat dengan cepat. Baru satu jam yang lalu dan tau-tau udah bukaan 7-8 aja.
Lewat adzan zuhur sakitnya smakin kuat. Istri udah nggak nyambung lagi kalo diajak ngbrol. Senyum manisnya tergantikan dgn wajah meringis menahan sakit. Tidurnya pun semakin tak bisa diam; miring kiri miring kanan, telentang, berusaha mencari posisi yang paling nyaman.
Hampir jam 2. Ekspresi wajah istri semakin dahsyat. Cengkraman tangannya pun semakin kuat. Udah sempurna bukaannya, kata bidan perawat. Dia menyuruh perawat satu lagi yang lebih muda untuk menelepon Dokter Imelda. Yang disuruh segera berlari ke meja jaga. Sementara perawat 1 lagi mempersiapkan segala sesuatunya. Di luar rencana, Dokter Imelda tidak bisa segara datang karena sedang menangani pasien di rumah sakit lain. Akhirnya bidan perawat yang sejak tadi mengurusi istri bersiap diri membantu persalinan.
Meskipun ini adalah kali kedua saya menyaksikan proses persalinan, tapi rasanya tak kalah ngeri dengan kelahiran Hikari dulu. Sungguh iba melihat istri mengejan sekuat tenaga sampai nyaris putus nafasnya. Air matanya. Keringatnya yang bercucuran di dalam ruangan yang dingin itu. Racauan tak jelas yang keluar dari mulutnya demi mengatasi rasa nyeri. Saya tak berani membayangkan rasa sakitnya.
Bagaimana mungkin ada suami yang tega mengkhianati istrinya setelah melihat perjuangan yangs edemikian dahsyat saat melahirkan darah dagingnya?
Hikari relatif lebih mudah dikeluarkan daripada yang satu ini. Mungkin karena ukurannya yang memang jauh lebih besar daripada Hikari. Setelah 5 kali proses mengejan yang terasa teramat lama, akhirnya kami bertemu dengan sang jabang bayi yang dinanti. 14. 25 WIB, meleset sedikit dari 'permintaan' istri. Alhamdulillah. Bayi perempuan yang cantik dan bersih.
Terbayar lunas perjuangan istri saat bertemu muka pertama kali dengan anaknya. "Alhamdulillah, Dek," katanya pelan dengan senyum setulus hati.
Mama tak kalah bahagia mendapat cucu kedua. Saat kelahiran Hikari, yang ditanyakan mama adalah "Lengkap jarinya?" Nah yang ditanyakan mama tentang si adek adalah "Ada lubang anusnya?"
Beberapa saat kemudian, barulah Dokter Imelda tiba. Pekerjaan 'beres-beres' ditangani olehnya sambil bercerita penyebab keterlambatannya. Ternyata dia baru saja menangani pasien inseminasi buatan. Sementara itu saya memperhatikan si adek yang sedang ditimbang dan dibersihkan oleh perawat yang lain. 3.7kg 52cm. Perawatnya masih muda, tapi nampak jelas kalau dia menyukai pekerjaannya. Caranya memperlakukan bayi juga penuh sayang.
Saat itu lah saya nyeletuk saja ke istri "Merah kali si adek nih" Dan istri langsung menimpali "Berarti namanya Humaira, kan merah" Nama yang indah, nama panggilan kesayangan Rasulullah kepada Aisyah. Saya langsung setuju, tinggal memikirkan nama lengkapnya saja.
Azan dan iqomat di dekat telinga kecilnya yang dingin dengan suara yang penuh haru. Tak lupa mengucap syukur kepada Sang Maha Penyayang atas nikmatnya kepada keluarga kami. Terima kasih ya Allah anak-anak kami Kau jadikan sehat dan sempurna.
Lumayan merepotkan juga mau melahirkan dengan infus di tangan kayak gitu. Istri kebelet pipis melulu. repot bolak-balik ke kamar mandi sambil nenteng-nenteng infus. Untung kamar mandinya ada di dalam ruangan itu juga, nggak jauh-jauh jalan. Kata perawatnya nggak boleh banyak bergerak, tiduran aja. Jadilah pipisnya pake pispot.
Tak lama, pengaruh obatnya mulai terasa. Sekitar jam 10-an, rasa sakit mulai datang sekali-sekali. Istri mulai mengeluh. Kata perawatnya tidurnya disuruh posisi miring sekali-sekali. Petugas datang membawa makanan untuk istri. Ada kue, puding dan teh manis. Belajar dari pengalaman melahirkan sebelumnya, istri pun makan dengan lahap walaupun katanya rasanya tak istimewa. Tapi lumayan untuk menambah energi, supaya tak lemas kehabisan tenaga seperti saat melahirkan Hikari dulu.
Saya agak ngantuk karena malamnya begadang mengurusi Hikari. Istri nyuruh tidur di ruangan sebelah yang terhubung langsung dgn ruangan ini dan memang kosong. Tapi saya bertahan. Kalo tidur sekarang, siapa yang nemenin istri? Mama datang kemudian. Mengecek ini dan itu, bertanya apakah sakitnya sudah sakit sekali atau masih sakit biasa, mengobrol sebentar dengan kami, lalu tertidur nyenyak di kamar sebelah. Membiarkan kami berdua, saya yang sudah mulai bisa mengusir kantuk dan istri yang semakin sering mengeluhkan sakitnya.
Tanggal 14, berarti lahirnya jam 14 aja lah. Istri berkata sambil nyengir menahan nyeri. Masih lama dong, pikir saya. Saat itu kira-kira jam 11 lewat beberapa menit. Kata istri, sakitnya semakin sering datang. Dan itu dibenarkan dengan raut mukanya yang semakin sering berkerut menahan sakit, mulutnya yang meringis sambil memejamkan mata, dan cengkeraman tangan kirinya yang semakin keras di tangan saya.
Perawat yang tugas jaga ternyata seorang bidan, dan sepertinya sudah punya jam terbang yang cukup. Terlihat dari caranya mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Persalinan dengan induksi ternyata memang prosesnya meloncat dengan cepat. Baru satu jam yang lalu dan tau-tau udah bukaan 7-8 aja.
Lewat adzan zuhur sakitnya smakin kuat. Istri udah nggak nyambung lagi kalo diajak ngbrol. Senyum manisnya tergantikan dgn wajah meringis menahan sakit. Tidurnya pun semakin tak bisa diam; miring kiri miring kanan, telentang, berusaha mencari posisi yang paling nyaman.
Hampir jam 2. Ekspresi wajah istri semakin dahsyat. Cengkraman tangannya pun semakin kuat. Udah sempurna bukaannya, kata bidan perawat. Dia menyuruh perawat satu lagi yang lebih muda untuk menelepon Dokter Imelda. Yang disuruh segera berlari ke meja jaga. Sementara perawat 1 lagi mempersiapkan segala sesuatunya. Di luar rencana, Dokter Imelda tidak bisa segara datang karena sedang menangani pasien di rumah sakit lain. Akhirnya bidan perawat yang sejak tadi mengurusi istri bersiap diri membantu persalinan.
Meskipun ini adalah kali kedua saya menyaksikan proses persalinan, tapi rasanya tak kalah ngeri dengan kelahiran Hikari dulu. Sungguh iba melihat istri mengejan sekuat tenaga sampai nyaris putus nafasnya. Air matanya. Keringatnya yang bercucuran di dalam ruangan yang dingin itu. Racauan tak jelas yang keluar dari mulutnya demi mengatasi rasa nyeri. Saya tak berani membayangkan rasa sakitnya.
Bagaimana mungkin ada suami yang tega mengkhianati istrinya setelah melihat perjuangan yangs edemikian dahsyat saat melahirkan darah dagingnya?
Hikari relatif lebih mudah dikeluarkan daripada yang satu ini. Mungkin karena ukurannya yang memang jauh lebih besar daripada Hikari. Setelah 5 kali proses mengejan yang terasa teramat lama, akhirnya kami bertemu dengan sang jabang bayi yang dinanti. 14. 25 WIB, meleset sedikit dari 'permintaan' istri. Alhamdulillah. Bayi perempuan yang cantik dan bersih.
Terbayar lunas perjuangan istri saat bertemu muka pertama kali dengan anaknya. "Alhamdulillah, Dek," katanya pelan dengan senyum setulus hati.
Mama tak kalah bahagia mendapat cucu kedua. Saat kelahiran Hikari, yang ditanyakan mama adalah "Lengkap jarinya?" Nah yang ditanyakan mama tentang si adek adalah "Ada lubang anusnya?"
Beberapa saat kemudian, barulah Dokter Imelda tiba. Pekerjaan 'beres-beres' ditangani olehnya sambil bercerita penyebab keterlambatannya. Ternyata dia baru saja menangani pasien inseminasi buatan. Sementara itu saya memperhatikan si adek yang sedang ditimbang dan dibersihkan oleh perawat yang lain. 3.7kg 52cm. Perawatnya masih muda, tapi nampak jelas kalau dia menyukai pekerjaannya. Caranya memperlakukan bayi juga penuh sayang.
Saat itu lah saya nyeletuk saja ke istri "Merah kali si adek nih" Dan istri langsung menimpali "Berarti namanya Humaira, kan merah" Nama yang indah, nama panggilan kesayangan Rasulullah kepada Aisyah. Saya langsung setuju, tinggal memikirkan nama lengkapnya saja.
Azan dan iqomat di dekat telinga kecilnya yang dingin dengan suara yang penuh haru. Tak lupa mengucap syukur kepada Sang Maha Penyayang atas nikmatnya kepada keluarga kami. Terima kasih ya Allah anak-anak kami Kau jadikan sehat dan sempurna.
RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru Anggrek 1 R306 14 Juli 2010, 13.40 WIB |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar